Redwoodinvesting

4 Cara Mengingat Data di Laporan Keuangan dengan 80% Lebih Efektif

Mrs Blumkin, adalah seorang wanita kelahiran Rusia, yang memiliki sebuah bisnis perabotan rumah yang sukses di Amerika, tepatnya di daerah Nebraska. Bisnis tersebut menjual perabotan rumah tangga, yang kurang lebih serupa dengan Ikea atau Informa Furnishing di Indonesia. Hanya saja bedanya, Nebraska Furniture Mart adalah toko yang sangat – sangat luas. Diperkirakan toko tersebut memiliki luas sekitar 40.000 m2 hingga 50.000 m2 atau setara dengan 3 – 5 kali luas lapangan sepak bola.

Pada tahun 1983, Bisnis tersebut kemudian dijual oleh keluarga Blumkin, kepada (siapa lagi kalau bukan) Warren Buffett melalui perusahaan Berkshire Hathaway-nya. Buffett membeli 80% dari kepemilikan toko raksasa tersebut, yang dimiliki sampai dengan saat ini (ini link kalau mau lihat tokonya seperti apa).

Wah, terus apa yang aneh? kan memang Buffett kerjaannya beli saham (bisnis). Kan Nebraska Furniture Mart (NFM) sama seperti ketika Buffett membeli bisnis – bisnis sebelumnya. Eh tunggu dulu, Buffett tidak bisa begitu saja membeli saham perusahaan ini karena sebenarnya NFM bukan perusahaan terbuka yang dapat dibeli sahamnya secara bebas. Ia harus menunggu selama belasan tahun, sebelum pemiliknya benar – benar terpikir untuk menjual perusahaannya tersebut untuk keperluan pewarisan kepada anak cucunya. Dan yang benar – benar menarik adalah, selama masa tunggu itu Buffett terus mengikuti dan ingat angka – angka finansial penting dan rasio keuangan NFM tersebut.

Ia pernah bercerita kepada seorang temannya saat sedang mengemudi melewati NFM jauh sebelum Buffett membelinya.
“Toko NFM itu adalah toko yang benar – benar bagus, memiliki penjualan sebesar X, dengan laba usaha sebesar Y, hanya dengan menggunakan luas area penjualan sebesar Y, sehingga NFM ini memiliki ROE sebesar N, suatu hari saya akan membeli bisnis ini”.
Dan saya kok yakin, selain data NFM, Buffett juga hapal banyak data finansial lainnya, selain data NFM. Loh, kok bisa ya dia ingat semua???
Apa kita mau menjadi investor harus hapal isi laporan keuangan saham yang mau kita beli?

Menurut saya jawabannya adalah iya! Mengapa?
Mari kia bahas fenomenanya.

Kita hanya membeli barang yang kita tahu detailnya

Pada umumnya kita tidak rumah tanpa mengetahui ukuran, luas tanah dan luas bangunannya. Kita tidak membeli mobil tanpa mengetahui berapa jumlah seatnya, berapa cc nya dan bahan bakar apa yang digunakan. Orang tua tidak memasukan anak kita ke sekolah tanpa mengetahui metode pembelajarannya, siapa saja saudara / teman yang menyekolahkan anaknya di sekolah tersebut atau merupakan alumni dari sekolah tersebut. Saya rasa tidak ada orang yang membeli rumah tanpa mengingat berapa ukuran tanah rumah yang akan dibelinya tersebut.

Dan hal tersebut juga seharusnya dilakukan, pada saat seseorang berniat untuk membeli bisnis (saham sebuah perusahaan). Atas dasar inilah, keputusan untuk membeli suatu aset bisnis dapat dilakukan dengan lebih rasional, dan minim “following the herd” karena keputusan yang diambil sebenarnya telah diambil jauh hari sebelumnya atau istilahnya telah melalui pertimbangan lebih matang.

Karena itu, begitu saya menyadari pentingnya hal ini, maka secara otomatis, saya lebih mudah ingat (mungkin unconcious yang bekerja) secara otomatis angka – angka yang berhubungan dengan bisnis yang saya ikuti. Misalnya market cap ULTJ sekitar 20 T, laba bersih BBCA sekitar 30 – 40 T, luas area outlet LPPF adalah sekitar 500 – 600 ribu m2, jumlah tower milik protelindo adalah sekitar 30 ribu, dividen payout ITMG umumnya berkisar antara 50% – 80% dari laba bersih dan seterusnya.

Meskipun tidak perlu mengingat detail sampai ke angka pastinya, tetapi menurut saya penting untuk punya sense background perusahaan – perusahaan yang menarik buat kita. Sehingga kita akan lebih mudah secara otomatis memiliki gambaran besar untuk membandingkan banyak hal. Misalnya, pada saat MTEL IPO, kita secara instan dapat melihat bahwa TOWR dengan PE Rasio 16 – 18 dengan jumlah tower 30 ribu, virtually lebih murah dibandingkan dengan MTEL yang pada saat IPO dihargai di PE Rasio sekitar 60 – 70 dengan jumlah tower (soon to be) 36 ribu.

Wah, rumit juga ya kalau harus ingat banyak data. Oke lah pak Sampurna, katakan memang saya setuju mengingat banyak data itu penting sebelum actual membeli sahamnya, tapi saya tidak mudah mengingat banyak hal seperti pak Buffett di atas lalu bagaimana?

Ada beberapa trik yang bisa kita lakukan, yang menurut saya cukup works on me

1. Repetition is mother all of learningZig Ziglar

Bagaimana cara kita dahulu mengingat tabel perkalian sewaktu SD? meskipun ada metode yang lebih baik, sebagian besar dari kita mengingat perkalian dengan cara mengulang – ulang sampai bosan pasangan angka – angka tersebut. Tetapi yang saya maksudkan bukan mengulang secara sengaja seperti menginat tabel perkalian.

Dengan membaca banyak bacaan, koran misalnya, yang membahas tentang berapa jumlah tower milik MTEL, yang tentu saja subject tersebut akan muncul lebih dari 1 kali di depan mata kita, maka secara otomatis, otak kita akan mengingat dengan sendirinya materi tersebut. Saya tidak pernah secara sengaja mengingat bahwa market cap BBCA adalah Rp 1100 T, tetapi karena pada saat market cap BBCA pertama kali menembus Rp 1 kuadriliun pertama kalinya, hampir semua artikel di internet dan koran tentang bisnis dan investasi ramai memuat informasi tersebut. Tentu hal tersebut tidak mudah dilupakan.

2. Perbanyak studi case, pinjam pengalaman orang lain, dan install di diri kita

Di tahun – tahun awal saya berinvestasi saham, hal terbanyak yang saya baca adalah mengenai pengalaman orang lain yang membeli saham tertentu, beserta alasan detailnnya, dan bagaimana hasilnya (tipikal bacaan no 2). Memang pada awalnya, saya merasa banyak sekali data yang saya baca, dan saya selalu bertanya – tanya pada saat itu, bagaimana orang ini bisa kepikiran untuk menganalisa dengan menggunakan data – data yang banyak tersebut.

Tetapi lama kelamaan, background data mulai terbentuk (data dari banyak bacaan sebelumnya), sehingga membaca tesis / analisa seseorang tidak lagi seberat awal memulai investasi (dan terkadang bahkan kita tahu apa yang disampaikan orang tertentu tidaklah tepat).

Dengan membaca banyak tesis yang dibuat oleh orang lain, kita semakin lama memiliki framework, untuk lebih memberikan perhatian kepada data yang lebih penting dan sekaligus melewati data yang tidak terlalu berpengaruh signifikan. Semakin kita banyak membaca bacaan ini, otak kita akan semakin baik dalam memilih dan mengingat mana yang penting dan sebaliknya.

3. Gunakan bank data, dengan kedalaman informasi yang baik, seperti saya menggunakan 8-Filings

Seingin – inginnya saya untuk memiliki ingatan yang baik dan lengkap tentang angka dan rasio bisnis suatu perusahaan, supaya dapat melakukan analisa yang superior, selalu ada blind spot yang disebabkan oleh 2 hal :
1. Saya lupa datanya
2. Saya belum pernah ingat datanya
Oleh karena itu, saya merasa lebih baik untuk membuat full data fundamental lengkapnya terlebih dahulu (data yang saya sebut dengan 8-filings), sehingga ketika saat benar – benar mulai intens melakukan analisa, angka yang kita butuhkan sudah siap dan lebih dapat memberikan hasil analisa fundamnetal yang lebih runtut.

contoh aplikasinya :
Meskipun banyak hal yang dianggap sebagai penentu integritas manajemen seperti jumlah dividen yang dibagikan atau berapa banyak arus kas operasional yang dihasilkan perusahaan di laporan keuangan, cara favorit saya untuk menganalisa hal ini adalah dengan mencocokkan, apa saja janji / prediksi yang pernah disampaikan oleh manajemen dan kemudian dibandingkan dengan realita apa yang terjadi kemudian hari. Jika dalam 10 tahun terakhir manajemen memprediksi penjualan, laba operasional, laba bersih akan selalu naik pada angka x%, saya merasa perlu dengan cepat untuk akses data realita, apakah memang benar angka – angka tersebut selalu naik, dengan CAGR yang seperti disampaikan. Umumnya, manajemen yang benar – benar baik selalu under promise over deliver.

Contoh lain, manajemen mengatakan sejak bertahun – tahun lalu bahwa manajemen sedang fokus untuk dapat memproduksi produknya dengan lebih efisien tanpa perlu menurunkan harga di pasaran. Cara fact checknya, tinggal saya lihat di data 8-filings 10 tahun terakhir, apakah benar bahwa % Gross Profit Margin perusahaan benar – benar mengalami kenaikan. Jika dalam 10 tahun terakhir malah mengalami penurunan, kita bisa cek balik, apakah ada pernyataan dari manajemen kunci yang menyatakan kesulitannya (atau pengakuannya karena melakukan prediksi tidak tepat). Jika manajemen pada konfrensi pres nya masih tetap saja memuji kinerja mereka sendiri, mungkin kita lebih perlu berhati – hati.

4. Jangan berusaha secara sadar untuk menghapal data, membacalah, hanya jika, kamu tertarik membacanya.

Di tahun 2020, market cap PWON pernah berada di angka sekitar Rp 15 T, laba bersih 2019 adalah Rp 2,7 T, sehingga pernah berada di PE Rasio sekitar 5 – 6, dan market berkesimpulan karena adanya wabah Covid-19 maka PWON akan mengalami tekanan pada pendapatan dan laba bersihnya, dan memang jika kondisi pandemi telah berlalu, maka valuasi PE 6 untuk PWON adalah cukup murah dibandingkan dengan resiko di kualitas perusahaannya.

Pada saat 2020, saya membeli saham PWON, di harga kurang lebih Rp 310 – Rp 320 hanya sekitar 30 menit setelah saya melihat penurunan ARB ke sekian kalinya di beberapa hari terakhir, di mana pada saat itu beberapa hari sebelumnya PWON berada di harga Rp 600 yang berarti penurunan 50% dalam beberapa hari, di salah satu perusahaan yang saya anggap cukup baik dalam sektor bisnisnya.

Kenapa bisa / berani membeli saham dalam waktu hanya sekitar 30 menit?
Karena data tentang emiten tersebut sudah cukup lama saya kenal. Berapa luas area yang disewakan, ROE, % gross dan net profit nya dalam keadaan normal dan sebagainya. Dan data yang saya ingat pada saat itu, bukan data yang saya baru ingat / baca ketika harga sahamnya sudah turun banyak, melainkan sudah jauh sebelum itu karena saya membaca beberapa publikasi dari perusahaan dan dari pihak ketiga lain yang juga bercerita tentang analisa PWON. Membaca PWON di tahun – tahun sebelum 2020 adalah kegiatan having fun saya, terutama dikarenakan saya dan keluarga di Surabaya termasuk kelompok yang telah berulang kali menggunakan jasa dari PWON, yang merupakan raja nya mall di Surabaya.

————————

Conclusion

Membutuhkan waktu yang tidak singkat untuk menemukan apa saja yang seharusnya kita baca untuk menjadi seorang investor yang lebih baik. However, menemukan apa saja yang layak untuk dibaca tidak akan bermanfaat jika esensi dari apa yang kita baca tidak dapat kita ingat, apalagi jika data tersebut punya pengaruh yang signifikan.

Buat kamu pebisnis / profesional di kantor yang sibuk dan tidak cukup banyak waktu tetapi ingin menjadi investor yang lebih baik, mengetahui ada 3 kelompok bacaan wajib sangatlah krusial, supaya kamu tidak terjebak untuk hanya berkonsentrasi di satu model bacaan saja. Berusahalah untuk menyeimbangkan ketiganya, ketahui kelompok mana yang kita kurang kuasai dan perbanyak bacaan di kelompok tersebut, kecuali sudah berada di level knowledge yang dimiliki Warren Buffett.

Sampurna,
29 Agustus 23
02.48 am

3 Bacaan yang Membuat Seseorang Menjadi Investor yang Lebih Baik Setiap Tahun – 90% Melewatkan Bacaan No 1

Sekitar 12 tahun lalu, saya pernah bekerja di salah satu perusahaan FMCG yang cukup besar di Indonesia, memiliki produk yang terkenal dan seringkali menjadi market leader di niche produknya. Dan pada waktu itu, saya cukup beruntung, karena selama 8 tahun berikutnya saya bekerja untuk mengerjakan beberapa proyek pengembangan sumber daya manusia langsung di bawah divisi yang dikepalai oleh CEO-nya. Meskipun CEO-nya adalah generasi kedua dari pendiri perusahaan, namun beliau benar – benar true learner dan good executor. Saya banyak sekali belajar pada saat itu tentang dinamika sebuah bisnis karena saya juga mengerjakan beberapa proyek di beberapa perusahaan yang ia miliki. Dan ada satu hal yang saya notice ketika bekerja sama dengan pak CEO tersebut. He is a reader.

Ketika ada pertemuan yang beberapa kali diadakan di rumahnya, terlihat banyak sekali tumpukan koran dan majalah (ada 3 – 5 koran dan sekitar 2 – 3 majalah) yang ia subscribe. Terlihat juga beberapa buku yang pernah ia baca yang pada saat itu nampak cukup banyak bagi saya (tapi kalau sekarang saya pede buku saya di rak lebih banyak =D joke dikit). Buku – buku, koran dan majalah tersebut terletak di pojok ruang keluarganya yang cukup besar. Dan dari kenampakannya, saya cukup yakin semua bacaan tersebut sudah dibacanya (mungkin dia paham betul istilah “leader is always a reader“.

Nah, lalu terlintas ide yang menurut saya sangat masuk akal sekali pada saat itu. Dikarenakan saya pada saat itu juga ingin jadi orang sukses seperti CEO tersebut, maka saya memutuskan untuk juga subscribe beberapa bacaan yang secara regular beliau baca, yang sebenarnya jika saya ingat – ingat lagi nominal harga beli totalnya cukup mahal juga buat saya pada saat itu, yang saya ingat saat itu adalah koran kompas, majalah SWA, dan Forbes yang tentu banyak membahas tentang bisnis.

Lalu bagaimana hasilnya? Apakah saya belajar banyak dari bacaan – bacaan tersebut?
Ternyata, tidak ….. (dapat knowledge tetapi tidak signifikan).

Koran harian, mingguan, tabloid bisnis setelah beberapa saat lalu saya renungkan lagi, hanyalah merupakan 1 dari 3 jenis bacaan yang esensial untuk dibaca jika kita ingin menjadi pebisnis atau investor yang sukses. Koran dan tabloid adalah kelompok bacaan “opportunity update” (nanti akan kita bahas lebih dalam di bawah).
Saya melewatkan beberapa (atau mungkin banyak sekali) jenis bacaan yang pertama dan kedua. Bacaan seperti apa itu? Mari kita bahas dengan lebih dalam pada thread ini.

================

Membaca banyak tidak selalu benar, tetapi kurang membaca pasti tidak benar

Setalah dalam beberapa tahun terakhir ini membaca (dan juga dengerin podcast dan seminar atau semacamnya), saya menyimpulkan bacaan sebenarnya ada 3 golongan :

1. Yang utama dan yang paling penting, bacaan tentang how to operate / how to think
2. Berikutnya, bacaan tentang benchmarking
3. Yang terakhir barulah, bacaan tentang scouting / opportunity update

Menitik beratkan bacaan kepada salah satu golongan saja tidak akan pernah membuat kita menjadi seorang pebisnis / investor yang baik, berapa banyakpun kita baca di salah satu golongan bacaan saja.

How to Operatereading

Saya selalu beranggapan, investasi (saham/bisnis) seharusnya adalah game yang simpel untuk dimainkan. Ibarat Playstation, yang tombolnya hanya 2, buy dan sell. Sudah 2 itu saja.
Jadi mudah dong? eh tunggu dulu, Charlie Munger, tangan kanan Warren Buffett sudah pernah memperingatkan sebelumnya …..

“Anyone who think investing easy is stup*d”

Meskipun investasi terlihat simpel tetapi sangat jauh dari kata mudah. Dan kesulitan yang terbesar adalah psychology, atau dapat dikatakan penyebab kesulitan yang terbesar adalah diri kita sendiri.

Oleh karena itu sangat penting mempelajari hal – hal seperti,
– bagaimana mengelola keuangan,
– pentingnya tidak ikut arus dalam berinvestasi,
– pemahaman tentang investasi bukan hanya tentang return tetapi juga pengelolaan resiko,
– investasi tidak sama dengan fisika dan matematika karena banyak hal yang seharusnya terjadi tidak terjadi dan sebaliknya,
– serta banyak hal lain yang berkaitan dengan pemahaman kita sebagai manusia, terutama mengenal diri kita sendiri (belum ngomongin tentang teknik sama sekali).

Contoh bacaan golongan pertama ini antara lain :
1. The most important things – Howard Marks (investor dengan kekayaan sekitar Rp 30 Triliun)
2. Principles – Ray Dalio (investor dengan kekayaan sekitar Rp 300 Triliun)
3. Poor Charlie’s Almanack – Charlie Munger (tangan kanan Warren Buffett – net worth sekitar Rp 30 Triliun)
4. Thinking Fast and Slow – Daniel Kahneman (psychologist economic behaviour, peraih nobel, yang bukunya terjual jutaan copy di tahun awal peluncurannya)

Oke, sekarang kita berajak kepada jenis bacaan kedua

Benchmarkingreading

Pak Lo Kheng Hong yang berhasil meraih puluhan bagger di saham UNTR, dapat meraih hasil tersebut, tentu bukan dikarenakan beruntung dan asal all in saja. Beliau tentu memiliki serangkaian cara berpikir yang logis dan kontrarian, sehingga dapat meraih profit ribuan persen di saat hampir semua orang berusaha lari dari saham perusahaan tersebut.

Beruntung, ada pak Lukas Setiaatmaja yang banyak menginisiasi sesi sharing dengan pak LKH sehingga runtutan berpikir pak LKH pada saat membeli UNTR sudah bukan misteri lagi.

Study case seperti contoh di atas adalah jenis bacaan yang kedua. Agar lebih mudah dan memahami sebelum mengambil keputusan investasi, kita perlu untuk belajar dari contoh kasus terbaik, inilah yang disebut dengan benchmarking. Semakin banyak kisah sukses (dan gagal) yang bisa kita pelajari dari orang lain yang telah menjalani keputusan investasinya pada saat itu, maka kita akan semakin mudah menemukan pola / pattern yang nantinya dapat kita gunakan sebagai semi-template untuk investasi kita sendiri di masa depan.

Contoh bacaan golongan kedua ini :
1. favorit saya, One up On Wallstreet dan Beating the Street – Peter Lynch (yang disebut sebagai salah satu manajer investasi tersukses yang pernah ada)
2. Security Analysis dan The Intelligent Investor – Ben Graham & David Dodd (benar 2 buku ini paling terkenal, tapi percayalah jangan baca buku ini sejak awal mulai berinvestasi. Mulailah membaca buku ini saat sudah mulai paham banyak istilah tentang investasi sebelumnya)
3. You Can Be A Stock Market Genius – Joel Greenblatt (manajer investasi dengan record 50% return per tahunnya)
4. Common Stock and Uncommon Profit – Philip Fisher (panutan Warren Buffett dalam menilai perusahaan)

Dan barulah kita sampai pada jenis bacaan ketiga,

Scouting – reading

Bacaan yang ketiga inilah yang paling banyak saya konsumsi di cerita awal artikel ini. Guess what, saya hampir tidak mendapatkan apa – apa yang cukup signifikan berpengaruh ke perjalanan karir bisnis dan investasi saya. Barulah ketika saya memperbanyak bacaan tentang biografi investor / pebisnis sukses (how to operate reading) dan cerita sukses berinvestasi pada saham tertentu (benchmarking reading), semua bacaan ketiga ini menjadi relevan.

Contoh bacaan ketiga ini antara lain :
1. Koran dan majalan mingguan bulanan
2. artikel di internet dan update dari newsletter
3. Update berita (atau gosip) dari rekan investor lain

keseimbangan akan membuat investor dan pebisnis menjadi lebih baik

Ibarat mau ujian akhir matematika,
1. How to operate-nya adalah buku rumus matematika,
2. Benchmarking-nya adalah buku tentang banyak soal latihan beserta cara mengerjakan dan jawabannya
3. Scouting-nya adalah buku ujian real-nya, yang kadang – kadang ujiannya mendadak.

Membaca atau update berita dari kontan atau bisnis.com setiap hari tidak akan membuat kita menjadi investor yang superior karena kita akan melewatkan banyak contoh soal yang serupa, yang sebenarnya dapat dikerjakan dengan rumus mudah yang terlah disediakan di buku rumus.

sehubungan dengan ini, biasanya ada beberapa pertanyaan lanjutan,

Bagaimana kalau sedang malas baca?
1. Mungkin bacaan kita terlalu banyak kepada 1 jenis bacaan, sehingga kita merasa suntuk karena tidak mendapatkan merasa puas dengan pemahaman yang kita miliki. Memang Buffett menyarankan kita banyak membaca annual report, tetapi annual report yang kita baca akan berguna jika kita sudah punya gambaran sebelumnya, bagaimana annual report yang baik dan kurang baik. Hal tersebut hanya akan kita dapatkan di 2 jenis bacaan pertama.
2. Membaca secara bebas, tidak harus sebagai kewajiban, lakukan kegiatan membaca jika memang kita ingin membacanya. There is always residual reading, bacaan yang tidak pernah kita gunakan informasinya. Perasaan rugi waktu, karena bacaan yang kita baca tidak digunakan, akan membuat kita malas membaca.

Start membacanya dari mana?
How to operate adalah bacaan yang paling penting menurut saya. Dan kemungkinan saya membaca terlalu banyak jenis bacaan pertama. Pada kasus saya, saya merasa itu adalah hal yang baik. Kecuali kamu sudah memiliki banyak pengalaman di banyak bisnis, membaca jenis bacaan no 3 saja hanya buang – buang waktu saja.

Berapa proporsi jenis bacaan yang sebaiknya saya baca?
Semakin pemula, semakin besar porsi yang harus kita berikan pada jenis bacaan no 1 dan no 2, semakin pengalaman bisnis dan investasi banyak, semakin titik beratkan pada bacaan no 3. Buffett sekarang ini menghabiskan banyak waktunya pada bacaan no 3.

Apa lagi yang harus diperhatikan dalam membaca?
Ini penting, meskipun menyebalkan,
Bacaanmu hanya berguna, hanya jika, memori tentang bacaan tersebut tersedia untuk kamu gunakan, alias kamu masih ingat apa saja yang pernah kamu baca. Dan salah satu alasan Buffett adalah investor terbaik abad ini adalah karena ia memiliki memori yang sangat baik, yang disebut dengan photographic memory.

Wah, kalau memory saya tidak terlalu baik tidak bisa dong menjadi investor?
Bisa, ada beberapa tips, tetapi kita bahas di artikel berikutnya ya

stay tuned
Sampurna,
16/8/23
01.43 am






Warren Buffett adalah Investor Terbaik Abad 20 – Ini Alasannya

Belajar memang bisa dari siapa saja, termasuk untuk mempelajari bisnis dan investasi. Ada yang belajar secara resmi dengan mengikuti sekolah bisnis, tetapi kita juga bisa belajar secara non-formal. Belajar secara non-formal bisa dengan mengamati keluarga kita yang pebisnis, atau dengan mengenal dan memiliki mentor yang dapat menunjukkan jalan yang terbaik menurut pengalaman mereka, atau kita juga dapat memilih mentor yang merupakan investor kelas dunia meskipun mereka tidak secara langsung mengenal dan secara langsung berdiskusi dengan kita.

Lo Kheng Hong adalah salah satu contohnya. Dengan belajar dari mentor tidak langsungnya yaitu Buffett, ia dapat ikut merasakan profit yang sangat signifikan dari berinvestasi di pasar saham tanpa harus dimentor secara langsung oleh sang “Oracle of Omaha” julukan Buffett.

Lalu mengapa Warren Buffett – lah yang dijadikan oleh pak LKH sebagai panutan untuk mempelajari investasi? coba kita sedikit kulik pada artikel ini. Semoga bermanfaat.

Mengapa Warren Buffett adalah investor terbaik abad 20?

Ada beberapa alasan yang menunjukkan bahwa Buffett adalah investor terbaik yang pernah ada terutama di abad 21, berikut beberapa alasannya :

1. Memiliki track record pertumbuhan aset bersih 20% per tahunnya, selama hampir 60 tahun, tanpa menggunakan leverage (hutang berbunga) yang signifikan.

Memang beberapa investor memiliki tingkat pertumbuhan aset tahunan yang lebih besar seperti
Peter Lynch 13 tahun dengan 29% annual growth
Jim Simmons 20 tahun dengan 40% annual growth
Tetapi untuk mendapatkan pertumbuhan dengan nilai lebih dari 15% selama kurun waktu lebih dari 40 tahun, adalah sangat amat sulit untuk dilakukan.

Dengan pertumbuhan 20% selama kurun waktu 60 tahun, maka uang senilai Rp 100 ribu akan menjadi sekitar Rp 2,2 miliar. Insane return! next ….

2. Cara Investasi Buffett sangat mudah untuk dimengerti dan paling memungkinkan untuk dipelajari dan dipraktekkan oleh investor lain, bahkan meskipun orang tersebut bukanlah orang dari background finance.

Beberapa dari pengikut Buffett bahkan sudah dapat dikatakan sebagai guru investing bagi banyak investor lain seperti Bill Ackman, Mohnish Pabrai, Tom Gayner, Chuck Akre, Tom Russo, Seth Klarman, Li Lu, Joel Greenblatt dan yang paling terkenal dari Indonesia, Lo Kheng Hong.

3. Warren Buffett adalah satu – satunya 10 orang terkaya di dunia yang tidak menciptakan produknya sendiri.

Jika kita melihat kepada beberapa orang penyandang status sebagai orang terkaya. Hampir semuanya adalah seorang founder (pendiri perusahaan) seperti Elon Musk (Tesla), Jeff Bezos (Amazon), Bill Gates (Microsoft), Larry Page (Google & Youtube). Dalam kasus Buffett, perusahaannya Berkshire Hathaway adalah perusahaan yang ia beli dari pemilik aslinya, yaitu Seabury Stanton di sekitar tahun 1965.

dan fakta ini bukan menunjukkan bahwa Buffett inferior dibandingkan orang terkaya lain, justru hal ini menunjukkan keahlian utama Buffett adalah sebagai investor, bukan sebagai pencipta produk.

4. Buffett adalah seorang guru dan mentor yang sangat baik dan efektif

Sebagai orang yang sangat suka melakukan sharing terutama kepada anak muda, Buffett tidak hanya bercerita tentang bagaimana cara mendapatkan uang dengan berinvestasi, tetapi menunjukkan kepada dunia bahwa memiliki karakter yang baik akan sangat membantu menjadikan kita investor yang baik

seperti contohnya tentang kemandirian berpikir, kesabaran, kesederhanaan, kejujuran (agar dipercaya orang dan akhirnya orang senang berbisnis dengan kita), ketekunan dan juga pemikiran “low expectancy”.

Semua ilmu yang dibagikan oleh Buffett kepada banyak orang selalu dilakukan dengan menggunakan bahasa yang sangat mudah dicerna, tidak pernah menggunakan jargon – jargon yang sulit untuk dimengerti, apalagi menggunakan rumus – rumus yang rumit. Dan yang terpenting, Buffett selalu dapat menyederhakan sebuah ide rumit, agar dapat dicerna dengan mudah dan cepat oleh hampir semua orang.

Conclusion

Tidak heran mengapa banyak orang (termasuk saya) yang ingin belajar dari Buffett, cara yang sudah terbukti, replicable dan penjelasan yang sangat mudah untuk dicerna, tentu tidak salah jika banyak orang menyebutkan Buffett adalah investor terbaik abad 20. Acara rapat pemegang saham tahunan yang diadakan, yang sering kali dihadiri oleh lebih dari 40.000 pemegang saham yang datang dari seluruh dunia, merupakan bukti pendukung tentang status Buffett sebagai “Oracle of Omaha”.

13/7/23
01.18 am

Memegang Saham vs Memiliki Perusahaan

“Gan, lu masih pegang saham ABCD nggak? udah lumayan kan cuan lu”
“Iya nih gua udah kepikiran untuk nge-lepas, masih wait and see dulu deh, takutnya abis jual malah terbang, kan ampas kalo gitu”


Sebagai orang yang suka dengan dunia psikologi, saya belajar bahwa, mindset tertentu akan menghasilkan pilihan kata – kata tertentu. Misalnya, orang yang pesimis akan berkata “bisa tapi sulit” dan orang yang optimis akan berkata “sulit tapi bisa”, Individu yang bersyukur akan memilih kata – kata “Aku bersyukur karena bisa berlibur ke Bali” dan orang yang penuh penyesalan akan memilih kalimat “Kenapa aku hanya bisa berlibur ke Bali (padahal Hans si sok ganteng itu liburannya ke Eropah)”. I can go on and on but you got my point.

Termasuk 2 kalimat percakapan di awal artikel ini, adalah bentuk manifestasi dari mindset kedua orang tersebut dalam mengelola investasi mereka. Kata – kata yang dipilih adalah “pegang” dan “lepas”, sehubungan dengan saham ABCD. Wah emangnya salah pak Sampurna? ya enggak salah, tetapi ada yang harus digaris bawahi. 2 kata tersebut, tidak cocok digunakan untuk investor yang menggunakan strategi investasi saham jangka panjang (terutama jika strategi yang kamu gunakan adalah strategi Warren Buffett setelah tahun 1972). Mengapa?

Memegang Saham VS Memiliki Perusahaan

Setelah cukup sekian lama meresapi intisari long term investing (halah….), saya melihat banyak sekali contoh, di mana, hampir tidak mungkin seseorang dapat memegang saham dalam jangka waktu yang lama jika sejak awal sebelum membeli saham tersebut, sudah berpikir untuk menjual sahamnya (nanti kalau cuan). Pemilihan kata “pegang” saham, adalah bukti bahwa sejak awal, pembeli saham tersebut, tidak memiliki keinginan untuk memiliki perusahaan tersebut, dan yang sebenarnya diinginkan adalah keuntungan dengan memegang “sementara” saham perusahaan tersebut. Dan sampai di sini sebenarnya tidak ada yang salah.

Tetapi, menggunakan pola investasi Warren Buffett yang sebenarnya mengincar return tinggi dengan memiliki perusahaan dalam jangka panjang, akan sangat susah sekali untuk dilakukan. Lah, untung 10% aja sudah keburu – buru jual, takut nanti harga sahamnya turun lagi, boro – boro mau hold jangka panjang. Strategi investasi jangka panjang yang dipraktekkan oleh Buffett maupun Munger, mengharuskan investor untuk benar – benar berniat memiliki bagian dari perusahaan tersebut, tanpa mempedulikan harga saham, selama perusahaannya benar – benar adalah perusahaan yang baik. Rewardnya, return ribuan persen.

Ingin benar – benar memiliki perusahaannya, tidak dengan berencana sejak awal ingin menjual sahamnya nanti kalau sudah untung. Lah, kan aneh pak Sampurna, wong orang beli saham kan inginnya cuan, kok disuruh pegang selamanya. Nah, jangan salah, sampai dengan hari ini sejak saya membeli saham pertama saya, saya telah membeli kurang lebih 50 nama saham. Dari semua saham itu, hanya 1 saham yang benar – benar di hold lama sampai dengan saat ini. Wah, piye pak Sampurna, jare sampeyan jangan ingin untuk jual saham.

Jika ingin mempraktekkan strategi investasi jangka panjang, tidak ada masalah sebenarnya dengan menjual saham, yang bermasalah adalah, sejak awal sebelum beli, sudah berpikir untuk menjual sahamnya, jadilah konsep “pegang” dan “lepas” akan muncul di kepala kita, yang pada akhirnya membuat kita sering diperintah oleh harga saham, yang sebenarnya harus kita manfaatkan. Jika masih bingung begini analoginya.

Sebelum menikah di tahun 2018, saya membeli rumah untuk tempat tinggal keluarga saya nanti. Dan karena saya value investor, tentu saya mau nya beli rumah yang di bawah harga pasar. Katakanlah, saya membeli rumah dengan harga pasar Rp 3,5 Miliar dengan membayar 3 Miliar.
Rumah ini saya beli karena :
1. Saya butuh rumah
2. Lokasinya dekat tempat kerja dan dekat commercial district (jadi gampang kalau butuh sesuatu)
3. Lingkungannya cukup nyaman dan tenang (enak buat baca, enak banget) dan,
4. Lokasi kompleks rumah sedang dalam fase berkembang

Poin utamanya adalah, saya benar – benar ingin punya rumah ini, tidak ada intensi untuk menjual kembali rumah ini. Rumah ini (sejauh ini) ingin saya hold forever. Home sweet home!

Tetapi, semua niat saya untuk hold forever rumah ini pasti akan saya batalkan, jika, ada orang yang mau membeli rumah ini di harga Rp 15 Miliar (cuma misal saja). Saya dan keluarga saya, dengan “terpaksa” harus menjual rumah tersebut jika ditawar angka double digit miliar barusan. Bisa ditangkap konsepnya?

Oke, kita coba contoh dengan real case pada investasi saham yang pernah saya eksekusi sebelumnya

Harum Energy ( HRUM )

Pada tahun 2019 saya berinvestasi pada perusahaan ini, dengan kondisi sebeagai berikut :
1. Harga saham Rp 260 (atau Rp 1.300 sebelum stocksplit 1 : 5)
2. Market Cap (penjelasan market cap pernah di bahas di artikel ini) pada saat itu sekitar Rp 3,7 Triliun
3. Cash perusahaan pada saat itu sekitar Rp 3,2 Triliun
4. Utang berbunga perusahaan mendekati Rp 0 (tanpa utang bank / obligasi)
5. Rata – rata laba bersih perusahaan dalam 5 – 10 tahun sebelumnya sekitar Rp 400 – Rp 500 Miliar / tahun
6. Rata – rata arus kas operasi perusahaan dalam 5 – 10 tahun sebelumnya sekitar Rp 600 Miliar / tahun
7. Harga batubara ICI 1 (kualitas paling bagus) sekitar USD $60 – $70

Saham ini saya beli karena :
1. Membeli perusahaan harga (market cap) Rp 3,7 Triliun, dapat cash Rp 3,2 T, tidak diwarisi utang bank yang berbunga, yang artinya nilai perusahaan hanya dianggap sekitar Rp 500 Miliar (EV), sedangkan laba bersih logis pada kondisi rata – rata adalah juga Rp 500 M per tahunnya. Hal ini berarti EV/NPM (anggap saja seperti P/E Rasio) di angka 1. Ini murah sekali.
2. Perusahaan masih dikontrol oleh pendiri, yang setelah saya cek track recordnya lebih dari 10 tahun mundur ke belakang, tidak ditemukan adanya pengelolaan perusahaan yang aneh – aneh, dan umumnya manajemen “under promise over deliver“, sehingga saya asumsikan manajemen punya integritas. Mereka juga good capital allocator karena beberapa alasan.
3. Harga batubara sedang rendah. Rekor terendah setelah tahun 2008 adalah USD $50.
dan ada beberapa alasan lain yang terlalu panjang untuk dituliskan di pembahasan artikel ini, meskipun tetap sebenarnya tetap ada kekurangan di semua perusahaan. Tetapi kelebihannya jauh lebih signifikan.

Intinya adalah, saya berkesimpulan, ini perusahaan bagus dan sangat murah, saya benar – benar ingin memiliki perusahaan ini, tidak peduli harga sahamnya, tidak peduli apakah nanti akan dijual lagi nantinya. Saya tidak memegang saham HRUM, saya adalah pemilik perusahaan HRUM (meskipun minoritas, pake banget). Mindset itu yang sebaiknya kita aplikasikan.

Awal 2021, update kondisi adalah sebagai berikut :
1. Harga saham sekitar Rp 1.400, dengan market cap menjadi sekitar Rp 20 Triliun
2. Net profit di tahun 2021 “hanya” Rp 1 Triliun
3. Cash Rp 3,6 Triliun, meskipun tetap tanpa utang berbunga.

Nah, sekarang saya sudah merasa “perusahaan” dihargai terlalu mahal oleh pasar. Rp 20 Triliun untuk perusahaan yang memberikan return Rp 1 Triliun (P/E 20) dan berkarakter cyclical, adalah beresiko tinggi. Valuasi tersebut, saya interpretasikan sebagai “paksaan” market untuk membeli perusahaan yang kita miliki. Akhirnya saya “terpaksa” untuk menjual perusahaan favorit saya, di harga sekitar Rp 1250. Profit 4 baggers pertama saya pada waktu itu.

Senang dong? iya tentu saja, sebelum harga sahamnya naik sampai Rp 2.800! Yang kemudian sekaligus membuat saya melewatkan 10 baggers pertama saya, dan kita bisa bahas ini di kesempatan lain, tentang dealing with regret.

Conclusion

Jika ingin memulai karir sebagai investor, hal yang paling penting adalah mindset, setting awal cara berpikir, strategi dasar yang dianut oleh setiap investor. Konsistensi dalam sistematika pengambilan keputusan akan membantu mengeleminasi kebingungan yang ada saat kamu “megang” sahamnya. Terutama, jika kita berinteraksi dengan aset investasi yang umum ya beresiko tinggi bagi orang kebanyakan, kayak saham. Dan jika sudah memutuskan menggunakan strategi long term, pastikan setting awal pemikiran investasi long term juga, jangan mindset trading cepat dibawa, yang biasanya memang terbawa secara tidak sadar.

Hanya dengan melakukan setting yang tepat pada pemikiran investasi kita, kita akan lebih baik dalam proses membeli saham, lebih baik dalam melakukan hold perusahaan, yang pada akhirnya dalam jangka panjang membuat kita memiliki average return tahunan yang lebih baik.

Semoga memberikan ide tambahan, yang bermanfaat
Cheers!

07/02/23
03.03 pm

Mengapa Long Term Investing Tidak Mudah untuk Dilakukan ?

Katakanlah ada sebuah seminar tentang investasi diadakan dan pembicara seminar tersebut menanyakan kepada para peserta yang hadir, siapa saja yang di sini adalah seorang investor jangka panjang?
Hampir semua menjawab ( atau katakanlah paling tidak lebih dari setengahnya ) akan mengangkat tangan mereka.

Siapa yang tidak ingin menjadi long term value investor? Sudah sangat banyak bukti hidup seberapa powerfulnya investasi jangka panjang seperti yang ditunjukkan oleh Warren Buffett, Charlie Munger, Li Ka Shing, Lo Kheng Hong, Sandiaga Uno dan banyak sekali contoh lainnya yang mungkin tidak terdengar akrab di telinga sebagian besar orang seperti Chuck Acre, Tom Russo, Tom Gayner. Sedangkan dari short term minded investor, saya sendiri pribadi belum pernah mengingat ada 1 nama yang benar – benar menjadi kaya raya dengan menggunakan strategi jangka pendek ( bukan tidak ada, mungkin saja saya yang memang tidak tahu ).

Kenyataanya ada sebuah studi yang dilakukan oleh salah satu universitas di Taiwan, yang menyebutkan bahwa lebih dari 90% peserta pasar saham, adalah short term minded participant ( kalau dibilang short term investor juga kurang pas soalnya ). Saya tidak langsung percaya. Saya coba survei ke circle saya sendiri, kepada family, sahabat dekat, teman dan juga beberapa klien di usaha saya. Dan ternyata memang hampir tidak ada yang benar – benar menerapkan apa yang disebut dengan “long term investing”, karena hampir tidak ada dari mereka yang setelah saya tanyai, pernah pegang saham lebih dari 1 tahun. Sejauh ini saya hanya mengenal dua orang yang benar – benar menerapkan long term investor minded ( seperti layaknya investasi properti yang di sewakan tanpa ada rencana dijual oleh pemiliknya ).

Beberapa influencer yang saya ketahui ( dan ada yang saya kenal ) meskipun mereka pengagum Warren Buffett dan Lo Kheng Hong, beberapa dari mereka juga tidak benar – benar long term investor karena beberapa dari mereka juga masih menggunakan strategi trading. Saya tidak mengatakan bahwa trading tidak bagus, karena memang saya tidak benar – benar memiliki pemahaman akan proses berpikir, analisa, pengambilan keputusan, alokasi dana para pelaku trader. Poin saya adalah, dengan begitu banyaknya bukti bahwa investasi jangka panjang begitu menjanjikan, mengapa tidak banyak orang yang mengadopsi strategi ini secara menyeluruh? Mengapa long term investing tidak mudah untuk dilakukan ?

3 poin yang menjadi faktor utama, mengapa long term investing tidak mudah untuk dilakukan :

  1. Long term Investing itu lama, kelamaan atau bahasa inggrisnya, kesuwen.

    Benar bahwa long term investing memiliki prediktabilitas yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan short term ( laporan keuangan kuartal bagus belum tentu membuat harga saham naik, tetapi laporan keuangan konsisten bagus dalam 10 tahun hampir pasti harga sahamnya mengikuti ).

    Buat seseorang yang memiliki pemahaman sedikit tentang pembangkit tenaga listrik, hampir dipastikan ia juga mengetahui harga batubara $50 per ton di tahun 2020 adalah terlalu murah, sehingga ia bisa untuk membeli saham ADRO, INDY, ITMG, PTBA atau kawan – kawannya. Dan memang benar rata – rata dari saham – saham perusahaan tersebut telah mengalami kenaikan harga saham 200% atau lebih. Tapi, kenaikan itu membutuhkan waktu rata – rata sekitar 2 tahun. Mayoritas orang tidak mau menunggu 2 tahun di pasar modal. Slogannya biasanya “kalau bisa cepat buat apa pilih yang lama”.

  2. Andai kita sudah menerima kenyataan bahwa realisasi dari tesis kita akan terbuktikan paling tidak membutuhkan waktu yang cukup lama, tetapi, analisa yang kita telah buat belum tentu benar.

    Kalau sudah menunggu lama, kan capek juga kalau ternyata tidak profit, atau lebih buruk, sudah menunggu 2 tahun tapi malah rugi. Rugi 2 hal, uang dan waktu, yang kedua biasanya lebih mahal. Ketakutan semacam ini yang membuat cukup banyak orang menghindari time frame lama / long term ( which is a good opportunity for people like us ). Baik hasilnya untung atau rugi, kebanyakan orang ingin sesegera mungkin hasil tersebut. Kan nggak enak kalau digantung, ya nggak?

  3. Sudah mau menunggu lama, analisa sudah benar terealisasi, ada satu poin penting lagi. beli nya berapa banyak? Saham adalah “heavy lifter” di mana alat investasi yang satu ini bisa “mengangkat” berapapun uang yang kamu miliki. ADRO naik 300% misalnya dalam waktu 2 tahun, kalau belinya cuman 100 ribu, ya ngga ada impact nya. kita bisa kerja harian apapun dan mendapatkan jumlah uang yang sama dalam hitungan hari. Kelebihan saham inilah yang menarik orang super kaya untuk fokus kepada investasi, daripada bisnis aktif mereka.

    Hal ini sekaligus menjadi kelemahan investasi saham yaitu, membutuhkan dana yang besar ( jika ingin profit signifikan ). Investor yang mendapatkan 10 baggers pun ( untung 1000% ) tidak akan memberikan dampak yang signifikan jika ia hanya membeli saham dalam jumlah kecil dan akan lebih baik jika mendapatkan profit hanya 1 bagger ( 100 % ) asalkan menggunakan dana alokasi yang cukup besar.

3 alasan di atas inilah yang “memaksa” kebanyakan orang memilih cara investasi yang lebih mengarah kepada jangka pendek daripada investasi jangka panjang. Pernah punya pengalaman dengan 3 kesulitan di atas? share pengalamanmu di kolom komentar ya

Cheers,
Sampurna

7 Hal yang Harus Kamu Perhatikan Untuk Alokasi Dana Sebelum Membeli Saham

“Saya ingin beli ASII nih min? Berapa ya jumlah uang yang sebaiknya saya investasikan di saham ini ?”

Pertanyaan ini adalah salah satu pertanyaan yang paling sering ditanyakan oleh banyak orang (saya juga sih) sebagai investor. Jawaban paling umum yang paling banyak saya dengar adalah berkisar 5% sampai dengan 35% untuk 1 saham. Tetapi pertanyaan berikutnya juga penting tetapi jarang terpikirkan

5% dari angka apa?
dan jika jawabannya adalah 5% dari total dana untuk saham, lalu bagaimana menentukan jumlah alokasi dana maksimal khusus untuk investasi saham?
lalu, apa benar semua orang ideal untuk mulai mengalokasikan dana untuk investasi saham?

kita coba diskusikan pada artikel ini ya, let’s roll …

Investasi saham hanya 1 dari 7 aspek penting personal finance dan dalam personal finance, ada 7 aspek penting yang harus dipenuhi oleh masing masing dari kita, apa saja itu?

Breakdown Personal Finance

1. Pendapatan / Income
2. Pengeluaran Rutin
3. Tabungan untuk Kebutuhan Jangka Pendek
4. Tabungan untuk Dana Darurat
5. Asuransi Jiwa dan Kesehatan
6. Investasi Jangka Panjang
7. Tax Planning

Kita utak – atik satu per satu dengan singkat

Yang pertama income,
ini adalah ibarat darah dalam tubuhmu. Income adalah yang utama dalam personal finance mu. Tidak ada kompromi untuk aspek yang satu ini, dan otomatis harus difokuskan terlebih dahulu sebelum berangkat ke 6 aspek yang lain. Sebegitu pentingnya aspek ini, sampai – sampai sebagian besar orang hanya merasa income mereka sajalah yang paling penting untuk urusan personal finance mereka.

Betul ini penting sekali, hanya saja kenapa Mike Tyson atau banyak artis berkekurangan secara finansial di masa tua mereka, padahal Income mereka besaarr sekali selama masa jaya mereka. Income penting, tetapi income besar biasanya dirusak oleh aspek kedua.

Pengeluaran rutin,
Pengeluaran untuk kebutuhan makan sehari – hari, listrik, air, PBB, pajak kendaraan bermotor adalah beberapa contoh pengeluaran rutin. Umumnya orang bermasalah dengan aspek ini karena satu jenis pengeluaran rutin yaitu Gaya Hidup. Ngemall dan Starbucks, Ganti Mobil dan HP terbaru, dompet dan tas bermerk atau liburan mewah, adalah contoh pengeluaran gaya hidup yang biasanya “bikin masalah”

Pendapatan sebesar apapun akan bermasalah jika aspek kedua ini tidak dikelola dengan baik.

Aspek ketiga,
tabungan untuk kebutuhan jangka pendek
yang termasuk kategori ini adalah sejumlah uang yang sengaja kita sisihkan setiap bulannya untuk membayar kebutuhan yang akan muncul maksimal 3 tahun dari sekarang. Dana untuk masuk sekolah anak, untuk menikahkan anak, atau untuk membeli / DP rumah sebelum menikah termasuk ke dalam golongan ini.

Alokasi dana ini dilarang masuk ke dalam investasi ke dalam saham. Bayangkan kalau dana ini kita butuhkan sesaat setelah covid breakout dan dana tersebut ada dalam bentuk saham hampir dipastikan kita kehilangan lebih dari 30% nilai dari tabungan tersebut (ya kalau ada 1 M, tinggal 700 juta)

Dana jangka pendek ini sebaiknya disimpan dalam bentuk tabungan yang rendah fluktuasi seperti reksa dana pasar uang / deposito (obligasi negara pun cukup beresiko menurut saya, apalagi kalau dananya gede)

Aspek keempat dan kelima,
dana darurat & asuransi
Beberapa kali dalam hidup saya terjadi hal tidak diduga yang cukup membuat stres pikiran saya. Tetapi paling tidak, secara finansial beban itu tidak terlalu dirasa berat karena pengelolaan kedua aspek ini dengan benar. Dana darurat membantu kita lolos dari masalah no income beberapa saat di awal pandemi, dan asuransi membantu kita ketika dapat jackpot sakit yang harus ngamar di rumah sakit, yang kalau di akumulasi mencapai ratusan juta rupiah

Dana darurat dan asuransi memiliki karakteristik yang sama, yaitu perasaan ketidakbergunaan untuk jangka waktu yang lama, dan kelegaan yang signifikan ketika “jackpot” kebetulan mampir. Setiap orang perlu memiliki keduanya. Dana darurat bisa ditempatkan di reksa dana pasar uang. Dana darurat juga dilarang dimasukkan ke dalam saham. Coba dibaca lagi kalimat terakhir.

Aspek ketujuh, tax planning (aspek investasi belakangan deh sekalian)
Pajak menjadi kompleks sebenarnya karena kebanyakan orang menunda – nunda untuk melaporkan pajak dengan benar (seperti saya sebelumnya), dan saya harus menghabiskan dana yang jauh lebih besar ketika terlalu lama menunda memperbaiki aspek yang satu ini.

Saya tidak akan terlalu dalam membahas aspek ini karena bukan ahli dalam perpajakan juga, tetapi satu hal yang pasti benar, jika kamu berencana untuk menjadi kaya, benerin deh pajakmu sejak awal.

Dan baru akhirnya kita sampai pada

Aspek keenam yaitu investasi,

Sebenarnya buat apa berputar – putar toh ke aspek personal finance lain kalau sebenarnya pertanyaan nya cuma

“Berapa ya bagusnya jumlah uang yang saya mau belikan ASII?”

Berhubungan kok, karena pertanyaan di atas akan baru bisa dijawab dengan menjawab pertanyaan berikut terlebih dahulu :

• Apakah dana darurat sudah terbentuk?
• Apakah sudah punya asuransi yang sesuai dengan kebutuhan?
• Apakah semua utang konsumsi sudah terlunasi?
• Apakah sudah menentukan profil toleransi resiko investasi?

Apabila dana darurat sudah terbentuk, asuransi yang dibutuhkan sudah dimiliki dan tidak punya utang konsumsi (kalau 3 aspek ini belum beres udah jangan “main – main” dengan saham karena resiko yang kamu tanggung akan menjadi besar) baru kita mulai berinvestasi dan bisa menentukan angka

Profil resiko saya kategorikan menjadi 3 :
1. Saya kurang sanggup melihat fluktuasi
2. Saya sanggup melihat fluktuasi selama tidak terlalu ekstrim
3. Apa itu fluktuasi? Saya sanggup melihat saham saya menjadi nol kok bang.

Orang tipe pertama sebaiknya mengalokasikan paling tidak memiliki 10 saham (maksimal 10% setiap saham). Jadi ASII dibeli hanya menggunakan maksimal 10% dari dan untuk investasi saham saja sedangkan,

Orang tipe kedua dapat memiliki 5 – 10 saham dalam portofolionya (maksimal 20% alokasi dari seluruh total alokasi investasi saham untuk membeli ASII tadi) dan kalau kamu orang tipe berikutnya,

Orang tipe ketiga dapat membeli minimal 3 tipe saham (tetap harus ada diversifikasi kalau menurut saya), di kasus ASII, saham tersebut bisa dibeli dengan maksimal alokasi 35% – 40%

Dan seluruh pembelian saham di atas tidak menggunakan dana dari kategori lain selain dana dari alokasi kategori investasi.

Kalimat ini penting sekali. Karena akan selalu ada orang yang “panas” untuk all in sekalian memasukkan dana darurat dan uang untuk DP rumah. Percaya deh, resikonya tidak sebanding jika ternyata “analisamu” salah.

Inilah workframe untuk menentukan berapa jumlah investasi saham yang lebih sistematis, menyesuaikan dengan kondisi personal finance tiap masing – masing investor.


Conclusion

Kenapa min tidak langsung saja membeli ASII tadi dengan metode perkiraan saja?

Karena akan ada manusia yang membeli 1 saham saja dengan menggunakan seluruh uang yang dia punya karena merasa yakin sekali akan keputusan tersebut, menggunakan dana yang seharusnya beresiko jika dimasukkan ke dalam investasi saham.

Investasi berbeda dengan menabung, karena dalam kegiatan menabung tidak perlu memasukkan faktor resiko fluktuasi sehingga dana bisa dicairkan kapanpun ketika dibutuhkan.

Sedangkan dalam investasi, faktor fluktuasi sangat penting dipertimbangkan dengan cara hanya memasukkan dana yang hampir dipastikan tidak digunakan dalam minimal 3 – 5 tahun ke depan

Atas alasan ini juga kampanye “mari menabung saham” kurang (atau bisa dikatakan tidak) masuk akal

Okay, hope all these help, cheers!

Semua Investor & Pemilik Bisnis Sukses Adalah Penjudi yang Baik

Di sekitar akhir tahun 2019 lalu, diberitakan seorang berusia 30 tahun dengan inisial ES ditangkap oleh polisi karena menggadaikan motor temannya tanpa sepengetahuan pemilik. Setelah diselidiki ternyata pelaku menggadaikan barang yang bukan miliknya tersebut dikarenakan hobinya “berjudi” yang menjadi – jadi. Bahkan sebelumnya pelaku juga telah menjual seluruh warisan yang diberikan oleh orang tuanya yang bernilai ratusan juta dan bahkan menggadaikan motornya yang sebelumnya digunakan untuk ia bekerja. Telah diajarkan sejak kita semua bersekolah bahwa “berjudi” adalah perilaku yang buruk yang pada akhirnya akan merugikan siapapun pelakunya.

Namun penulis pada kesempatan ini ingin untuk mencoba melihat “judi” dari kacamata lain, pandangan yang menurut penulis lebih “general”. Mari kita lihat arti kata “judi” dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia. Menurut KBBI “judi” adalah permainan dengan memakai uang atau barang berharga sebagai taruhan. Dan pada kamus yang sama ini “berjudi” diartikan sebagai mempertaruhkan sejumlah uang atau harta dalam permainan tebakan berdasarkan kebetulan, dengan tujuan mendapatkan sejumlah uang atau harta yang lebih besar daripada jumlah uang atau harta semula.

Lalu pertanyaan yang muncul dalam pemikiran penulis adalah, lalu bagaimana judi di meja judi bisa dikatakan berbeda dengan seorang pengusaha yang menggunakan modal ( uang ) nya untuk memulai suatu usaha. Bukankah hal tersebut juga dikatakan sebagai “bertaruh” jika mengingat tidak ada jaminan bahwa uang yang dibelanjakan oleh sang pengusaha untuk sewa tempat kerja, membeli kendaraan operasional, membiayai karyawan dan belanja modal yang lain belum tentu balik modal. Dalam beberapa kondisi, usaha start up terkadang dibiayai pula oleh utang kepada pihak bank. Jika usaha tersebut gagal bagaimana pengusaha tersebut mengembalikan dana tersebut kepada pemberi modal?

Atas pemikiran di atas, penulis berusaha untuk mendefinisikan “judi” dalam artian yang lebih luas

Judi adalah kegiatan mempertaruhkan sesuatu untuk hal yang tidak pasti. Dengan definisi tersebut, kita dapat mengambil contoh menonton film di bioskop yang kita belum mengetahui plot ceritanya. Dengan mengeluarkan biaya sebesar Rp 35.000,- ( atau 2 kali lipat kalau Anda membawa pasangan ) maka kita terekspos risiko bahwa ternyata film tersebut ternyata kurang cocok dengan selera Anda ( Peluang 50/50 – 50% cocok dan 50% tidak cocok ). Jika Anda menyukai film tersebut maka terjadilah good result, dan jika sebaliknya yang terjadi maka terjadilah bad result.

Tentunya hampir semua orang berusaha agar semua deal yang kita lakukan berujung pada good result. Berkaca pada contoh menonton film di atas, apa yang bisa Anda lakukan supaya kita mendapatkan good result ? Ya Benar, kita melakukan search terlebih dahulu melalui internet bagaimana sinopsis cerita tersebut, siapa saja aktornya, siapa production house nya dan apakah kita pernah mendengar cerita itu sebelumnya. Katakan Anda menyukai film action dan aktor Liam Neeson, maka peluang Anda menyukai film berjudul “TAKEN“, “NONSTOP“, ataupun “UNKNOWN” adalah berkisar 80/20 ( 80% kemungkinan menyukai film tersebut dan 20% kemungkinan tidak menyukainya )

Di sisi lain, contoh yang berkebalikan dengan “judi” adalah kegiatan jual beli kebutuhan yang sehari – hari kita lakukan, misalnya kita membeli 1 liter pertalite dimana kita pasti akan mendapatkan jumlah volume 1 liter dengan biaya yang pasti yaitu Rp 7.650,- ( 2020 ) dan tidak ada opsi lain selain kondisi tersebut. Maka kita mendapatkan hasil yang hampir mendekati 100/0. Namun berapa banyak hal di dunia ini yang memiliki probabilitas 100/0 seperti pada saat kita membeli pertalite ? Not so much

Oke, Lalu apa kaitannya penjelasan di atas dengan penjudi yang ditangkap oleh polisi di awal artikel ini dan juga apa kaitannya dengan berinvestasi?

Jika kita mencoba untuk merefleksikannya kembali, maka ada persamaan antara judi kartu di meja casino dengan menyekolahkan anak kita di sekolah terbaik dengan biaya yang tidak murah, yaitu adanya ketidakpastian. Apakah ada yang bisa menjamin 100% bahwa dengan bersekolah di sekolah X akan membuat anak pasti sukes? Sebaliknya judi negatif dengan bermain kartu ( yang sering membuat orang bangkrut ) juga tidak selalu berujung kekalahan.

Namun ada satu perbedaan yang mendasar antara judi yang baik dan judi yang buruk, yaitu ada di Disparitas Peluang antara kemungkinan good result dengan bad result. Yang dimaksud dengan disparitas peluang di sini adalah perbedaan kemungkinan berhasil dibandingkan dengan kemungkinan gagalnya. Kita asumsikan saja peluang yang baik adalah 70/30 dan semakin tinggi dari 70% adalah semakin baik. Dan hal ini kemudian menjawab mengapa seorang yang punya kebiasaan berjudi kartu di meja judi umumnya berakhir dengan kebangkrutan.

  1. Dikarenakan orang tersebut bermain di permainan di mana peluang menang lebih kecil daripada peluang kalah, contoh permainan Roullette ( 49/51 ), permainan dadu ( 17/83 ), dan tipikal permainan di casino lainnya. Pengelola Casino tidak akan membuka usaha dan terus menawarkan makanan dan entertainment gratis jika mereka tidak menghasilkan keuntungan bukan?
  2. Faktor psikologis, manusia banyak sekali memiliki bias ketika berhadapan dengan keadaan yang tidak pasti. Sebagai contoh, ketika seseorang yang sudah kecanduan judi dadu, hampir tidak ada pemain yang berhenti bermain kecuali ketika uangnya sudah habis ( sangat jarang ada orang yang berhenti bermain ketika menang, kenapa harus berhenti jika menang? ). Ketika telah menang berturut turut dan kemudian mengalami kekalahan, seseorang biasanya juga merasa penasaran dan tetap mencoba terus.

Di sisi lain yang jarang disebutkan sebagai judi, sebenarnya ada “judi” yang baik jika kita mengambil keputusan berdasarkan kemungkinan probabilitas dan pengelolaan emosi yang baik. Bersekolah ( atau kuliah ) di tempat yang baik adalah salah satunya. Peluang diterima bekerja di perusahaan yang baik akan meningkat semakin besar ( asumsi 70/30 ) jika dibandingkan dengan kita hanya bersekolah di tempat yang kualitasnya kurang baik atau malah tidak bersekolah ( asumsi 10/90 ). Bukan berarti dengan bersekolah di tempat terbaik maka kita pasti akan bekerja di tempat yang kita inginkan, namun kita dapat berusaha dan memperbesar peluang kita.

Juga kita dapat ambil contoh ketika kita keluar rumah dengan menggunakan motor atau mobil untuk bekerja atau bersekolah. Secara teori, selalu ada peluang terjadi kejadian yang tidak diinginkan terjadi di perjalanan ( asumsi 99,9/0,1 ). Selalu ada risiko meskipun peluang tersebut sangat kecil sekali ( karena nasib tidak bisa ditebak 100% ), tetapi bukan berarti kita kemudian memutuskan untuk tidak keluar rumah kan?

Hubungan Judi dengan Berinvestasi

Pahamilah bahwa dengan menggunakan strategi apapun dalam berinvestasi di kelas aset manapun baik itu deposito yang paling aman sekalipun pasti ada risiko kehilangan semisal terjadinya kerusuhan atau adanya kecurangan oleh pihak orang dalam bank ( asumsi 99/1 ). Karena itu segeralah menjauh apabila ada pihak yang mengklaim bahwa investasi apapun yang ia tawarkan adalah 100% aman apalagi ditawarkan dengan imbalan yang cukup tinggi ( fixed > 10% / tahun ), justru pada investasi seperti demikian risiko biasanya paling besar karena adannya kecurangan dengan menggunakan greed pada psikologi seseorang.

Lalu bagaimana dengan berinvestasi pada saham ?

Penulis kurang setuju apabila ada pihak yang mengatakan bahwa investasi saham itu bukanlah judi apalagi dikatakan pasti aman 100%. Pada sebelum tahun 1980 an, Eastman Kodak adalah perusahaan besar di Amerika yang produknya dapat ditemukan di hampir semua negara di dunia. Tetapi setelah era 1980 an kondisi perusahaan terus saja menurun dikarenakan kurang kompetitifnya perusahaan dalam mengantisipasi perubahan jaman. Kekuatan perusahaan menghasilkan keuntungan dari penjualan roll film kamera justru menjadi penghalang perusahaan untuk benar – benar serius berinvestasi dan mengembangkan usaha kamera digital yang justru digunakan oleh orang – orang saat ini. Namun pada tahun 1970 an kemungkinan semua orang yang ada di pasar modal menganggap berinvestasi pada perusahaan Kodak adalah salah satu investasi yang paling aman di dunia ini. Jangan tanya harga sahamnya sekarang ada di mana.

Lalu jika memang berinvestasi pada saham begitu inkonsisten bagaimana kita sebagai investor individu bertahan dan menghasilkan pertumbuhan aset yang baik dari pasar modal ?

BERJUDILAH DENGAN BAIK

Berinvestasilah pada saham perusahaan di mana kita memiliki pengetahuan yang cukup tentang produk, kualitas manajemen, keungguan kompetitif perusahaan dibandngkan dengan kompetitor, dan kondisi keuangan perusahaan yang bisa kita lihat dari laporan – laporan keuangan perusahaan tersebut. Dengan memiliki informasi yang cukup sebelum membeli sebuah saham, sehingga kita memiliki kemungkinan yang lebih besar dalam menumbuhkan aset investasi kita di saham. Lakukan lah keputusan investasi jika kita merasa kita memiliki peluang paling tidak 80/20 atau lebih baik dari angka tersebut. Lakukanlah tracking hasil investasi kita pada setiap tahunnya paling tidak untuk 5 tahun performa, sehingga kita bisa melakukan judgement, apakah kita melakukan judi yang baik atau judi yang buruk.

Keberhasilan melakukan investasi di pasar modal ( ataupun investasi yang lain ) adalah dilihat dari konsistensi keberhasilan seseorang dari sekian banyak hasil investasi yang ia lakukan. Keberhasilan 1 – 2 kali apalagi di saat pasar memang sedang euforia tidak akan memberikan informasi apa – apa kepada kita mengenai kualitas dari keputusan yang dibuat oleh sang investor. Bahkan penulis dapat mengatakan bahwa menjadi seorang pemain poker profesional dengan winning rate baik dalam jangka waktu panjang, adalah lebih baik dibandingkan dengan seorang pekerja kantoran yang telah puluhan tahun kerap masuk dan keluar perusahaan karena ia merasa tidak pernah puas dengan kondisi internal perusahaan – perusahaan tempat ia bekerja. Pekerja tersebut adalah penjudi yang buruk, dikarenakan jika ia bekerja dengan baik di sedikit perusahaan, maka ia tentu akan mendapatkan kompensasi yang lebih layak dibandingkan dengan kerap berganti tempat kerja. Pesan utama yang ingin penulis sampaikan pada artikel ini adalah bahwa benar investasi di saham adalah judi, namun begitu pula dengan kita bersekolah lalu bekerja pada suatu perusahaan. Ketika kita bekerja di suatu perusahaan dan tiba – tiba perusahaan tersebut mengalami kebangkrutan. Jika, hampir semua aspek yang kita lakukan dalam hidup kita sangat dekat dengan ketidakpastian, maka cara terbaik adalah dengan mengantisipasinya. Pastikan kita tidak hanya memiliki 1 sumber penghasilan saja, pastikan kita memiliki dana darurat yang dapat digunakan bila terjadi sesuatu yang tidak diharapkan terjadi. Dalam investasi saham, pastikan bahwa kita sebaiknya hanya membeli saham yang kita punya pengetahuan lebih dan cukup pada perusahaan tersebut, pastikan kita tidak menggunakan uang yang akan kita gunakan dalam jangka waktu dekat karena pasar dapat berfluktuasi tanpa diduga sebelumnya, dan pastikan kita juga memiliki kondisi psikologi yang cukup mandiri sehingga tidak mudah terpengaruh oleh pendapat orang lain. Hal – hal tersebut akan membantu kita untuk mendapatkan hasil yang memuaskan, make a bet only when you have the edge.

Investasi Akan Jauh Lebih Sukses Jika 97% Ide Berakhir dengan “No Thanks”

Berkshire Hathaway adalah salah satu perusahaan terbesar di dunia. Perusahaan tersebut memiliki puluhan perusahaan yang dimiliki 100% seperti BNSF, See’s Candies, Dairy Queen dan Duracell. Selain Itu ( Berkshire Hathaway ) BRK juga memiliki sebagian kepemilikan dari beberapa perusahaan besar seperti Apple, Coca Cola, Kraft Heinz dan American Express. Dan orang yang ada di balik keberhasilan perusahaan tersebut bertransformasi dari perusahaan tekstil yang buruk menjadi holding perusahaan asuransi yang sukses adalah Warren Buffett dan Charlie Munger.

Hebatnya BRK, secara size adalah perusahaan yang sangat mini, di mana perusahaan tersebut hanya memiliki 25 karyawan saja. Yang lebih hebat lagi perusahaan tersebut hanya memiliki 2 orang analis saja yaitu 2 nama yang disebutkan di atas. Jika kita menilik kepada cerita – cerita awal ketika Warren Buffett mengendalikan BRK, kita akan dapat melihat salah satu hal yang membuat perusahaan tersebut begitu sukses adalah dikarenakan kelihaian Buffett mendelegasikan perusahaan – perusahaan di bawah BRK kepada manager – manager yang kompeten, jujur, berintegritas dan memiliki passion yang tinggi terhadap pekerjaannya. Mulai dari Ken Chase di Berkshire Hataway ( Buffett tidak langsung mengelola divisi tekstil BRK ), Jack Ringwalt di National Indemnity ( perusahaan asuransi pertama BRK ), Chuck Higgins di See’s Candies ( perusahaan penjual permen yang sangat terkenal di California Amerika Serikat ) dan Ben Rosner di Diversified Retailing.

Buffett terus menambahkan orang – orang terbaik dari tahun ke tahun untuk menjadi manager di perusahaan – perusahaan BRK sampai dengan saat ini, sehingga ia tidak harus berurusan dengan operasional perusahaan ( yang mungkin justru akan lebih baik jika dilakukan oleh para managernya ).

Lalu suatu hari seorang relasi Buffett bertanya kepada Buffett, bagaimana kamu bisa sehebat itu dalam memilih orang, kamu pasti adalah seorang yang sangat berbakat dalam menilai orang. Dan menurut penulis, jawaban Buffett atas pertanyaan tersebut sangat mind opening.
“Look I’m no good at choosing people, I try to be very good at saying NO. If you put me in a room with 100 people and you ask me to judge which one is a good guy and which one is the bad one, maybe I’ll find 4 persons are very good quality people and 4 persons is very bad people, I have no opinion about the other 92“.

Buffett is not trying to be smart, ia tidak berusaha untuk menebak secara keseluruhan dari 100 orang tersebut. Buffett hanya “berani” untuk judge 8 dari 100 orang yang benar – benar ia yakini kualitasnya. Ia selalu berusaha untuk melakukan “action” ketika ia benar – benar memahami suatu hal, termasuk ketika ia membeli saham.

Dari cerita tersebut kita dapat mengetahui bahwa kriteria Buffett dalam membeli perusahaan sangatlah ketat. Dari sekian banyak penawaran yang diberikan kepadanya, hanya sedikit yang benar – benar sesuai dengan kriterianya. Hal tentang analisa manajemen di atas menunjukkan kepada kita seberapa ketatnya penilaian tersebut. Belum lagi analisa yang ia lakukan mengenai prospek perusahaan, keunggulan kompetitif perusahaan, circle of competence di bisnis tersebut, kondisi pasar dan banyak lagi. Sehingga dapat kita katakan kemungkinan besar dari 100 penawaran saham ( baik ditawarkan di pasar modal maupun yang ditawarkan langsung kepadanya ) hanya ada 1 yang benar – benar memenuhi kriteria Buffett sebelum membeli perusahaan tersebut.

Oke, lalu apa hubungannya dengan kita sebagai investor individu dengan cerita di atas?

Setiap investor yang baik, memiliki ” kemampuan mengatakan TIDAK ” yang efektif.

Dalam satu tahun terkadang Buffett hanya membeli 1 saham dan tidak melakukan penjualan apapun. Lalu, pada tahun akhir tahun 1960 an, Buffett bahkan tidak membeli saham apapun dikarenakan ia tidak nyaman dengan kondisi market yang sedang sangat euforia ( yang kemudian terjadi crash pada tahun 1972 – 1974 ).

Berkaca pada pemikiran di atas, maka di tahun awal – awal saya berinvestasi di pasar modal yang seringkali ” mudah ” tertarik dengan suatu saham karena kelebihan kasat mata perusahaan mulai bertanya – tanya, ” Kenapa banyak sekali saham yang terlihat menarik ? It doesn’t feel right “. Mengapa seorang Buffett, investor terbaik abad 21 terlihat sangat sulit menemukan saham yang baik, sedangkan saya yang masih pemula pada saat itu memiliki banyak sekali pilihan saham yang terlihat baik.

Tidak seharusnya saham yang baik semudah ini untuk ditemukan, 90% orang yang ada di pasar modal mengalami kerugian, penulis pada saat itu cukup meyakini bahwa analisa yang telah dilakukan tidak cukup dalam atau efektif dalam menilai suatu perusahaan. Setelah itu penulis memutuskan untuk tetap belajar, tetap membeli saham, tetapi ( ini penting ) dengan uang kecil saja. Tujuan utama adalah untuk mengenal dan belajar dinamika berinvestasi langsung di pasar modal ( 3 – 4 tahun sebelum membeli saham pertama, hanya berinvestasi di reksa dana ).

Dan ternyata keputusan tersebut ( untuk tidak terburu – buru menempatkan dana besar di saham ) cukup memuaskan penulis. Banyak sekali kesalahan mendasar di tahun – tahun awal seperti membeli perusahaan dengan manajemen yang kurang baik, membeli perusahaan yang terlihat murah tetapi memiliki banyak masalah, atau merasa mengenal bisnis di suatu sektor yang ternyata jauh lebih kompleks daripada yang dibayangkan sebelumnya

“Be very good at saying NO”

Kata – kata tersebut sekarang selalu penulis gunakan dalam melakukan keputusan investasi saham ( dan bahkan keputusan lain dalam kehidupan sehari – hari, terutama untuk saying NO kepada sesuatu tidak berkorelasi langsung dengan long term goals kita ). Dengan memiliki pola pikir tersebut sedikitnya kita memiliki 3 keuntungan dalam berinvestasi saham :

1. Kita dapat berfokus untuk mempelajari sektor yang kita ingin pahami, yang pada akhirnya mempermudah keputusan investasi ( belajar saham = belajar bisnis, keinginan untuk bisa memahami semua bisnis di Indonesia kurang rasional, kalau tidak boleh dibilang tidak mungkin ).

2. Kita memiliki alat screening terbaik dalam memilih saham, yaitu memilih saham hanya di sektor yang kita pahami. Kita tidak perlu repot lagi untuk ragu – ragu, apakah kita harus membeli saham ANTM atau INCO dengan nikelnya, jika kita memang tidak memahami risiko bisnis di sektor tersebut. Secara otomatis kita dapat melakukan discard kepada 80% emiten yang ada di bursa efek.

3. Kita terhindar dari musuh terbesar, yaitu diri kita sendiri. Dengan secara cepat memutuskan untuk tidak membeli saham yang kita tidak benar – benar pahami, membuat kita aman dari bias psikologi yang membuat kita keluar dari rencana investasi kita. Jika kita memang sejak awal hanya bersedia berinvestasi di sektor banking atau consumer, maka kita tidak akan mudah tergoda untuk membeli saham yang sedang panas di awal tahun 2021 semisal di sektor farmasi dan konstruksi, di mana banyak sekali orang terutama investor saham pemula yang kehilangan banyak uang karena ” tidak ” tahu apa yang sebenarnya mereka beli.

Berkebalikan dari saying NO adalah saying YES easily,

“Saham KAEF menarik mas lagi bullish, ndang tuku!
Hajar Kanan !!!!!”

# 21 Januari 2021
# 6.975 / lembar saham
# Market Cap 37 Triliun
# Nilai Buku 7 Triliun
# P/E Ratio 700+ ( butuh 700 tahun untuk balik modal )i’d rather saying NO

80% keberhasilan investasi saham ditentukan saat kita menemukan hal ini

Sebagai salah seorang yang sangat suka untuk mempelajari hal baru ( beberapa hal, tidak hanya investasi ), penulis menyadari dengan jelas bahwa ada 2 hal yang mempengaruhi secara signifikan keberhasilan kita dalam menguasai sesuatu adalah ada / tidak nya role model ( panutan ) dan apakah role model yang kita pelajari capable dan sejalan dengan tujuan pembelajaran kita.

Contohnya, penulis memiliki hobi olahraga tenis, dan karena pelatih tenis ( role model ) itu feenya tidak murah dan penulis memang benar – benar mulai dari 0 ketika mulai belajar bermain tenis, maka penulis dengan 2 orang temannya memilih untuk berlatih sendiri. Kita sewa lapangan sendiri, membeli 6 bola baru dan raket tenis baru ( tanpa mengetahui raket ternyata ada jenisnya ) dan mulailah kita bermain.

Hal yang tidak terpikir adalah, berbeda dengan olahraga bulu tangkis di mana seburuk – buruknya kita sebagai pemula kita pasti bisa memainkan olahraga bulu tangkis, pada olahraga tenis sekali kita salah memukul bola maka bola tersebut akan terlempar jauh dan untuk hanya mengambil kembali bolanya saja membutuhkan waktu yang banyak ( malah gak jadi latihan tenis )

Belum lagi ternyata permainan tenis ternyata sama sekali tidak mirip dengan bulu tangkis ( asumsi awal penulis karena sama – sama menggunakan raket, not so smart assumption ), tenis ternyata lebih mirip golf atau baseball yang menggunakan _swing_ lebih daripada _slap_ ( memukul shuttlecock bulu tangkis tidak membutuhkan awalan posisi raket ). Intinya adalah karena kita tidak memiliki role model sebagai contoh, maka pembelajaran yang kita lakukan sangat tidak efektif, dan juga menghabiskan waktu, tenaga dan biaya

Lalu pertanyaan kedua yang harus dijawab mengenai role model adalah apakah role model tersebut punya kemampuan yang kita butuhkan dan apakah kemampuan tersebut sesuai dengan apa yang ingin kita pelajari. Contohnya, penulis tidak akan mendapatkan hasil yang memuaskan jika menggunakan jasa pelatih terbaik tetapi di olahraga bulu tangis, padahal skill yang ingin dikuasai adalah tenis. Oleh karena itu, kecocokan antara kapabilitas role model dengan kebutuhan kita adalah krusial.

Oke lalu apa hubungannya dengan berinvestasi ?

Keberadaan role model ( tidak harus mentor riil, Benjamin Franklin pun bisa kita jadikan role model  ) adalah krusial pada saat kita ingin mempelajari apapun, termasuk dalam investasi saham. Kecuali kita adalah orang yang berbakat sejak lahir, adanya role model akan sangat membantu kita dalam mempelajari bagamana proses untuk menghasilkan suatu keputusan yang baik.

Kemudian, role model yang kita amati harus memiliki prinsip yang senilai dengan kita. Contohnya, tujuan utama penulis mempelajari investasi adalah untuk melawan inflasi dan mencapai kebebasan finansial dalam jangka panjang. Oleh karena itu, semua role model yang memiliki idea untuk quick profit dari investasi jangka pendek namun dengan risiko yang tidak dikontrol akan tidak cocok dengan value yang penulis cari

dan yang terakhir dan sangat penting adalah kita mengerti bagaimana melakukan cara untuk mengenali keberhasilan investasi yang dimiliki seseorang, sehingga kita bisa membedakan manakah yang merupakan real “role model” dan yang mana “fake guru” ( yang pasti di sini adalah penulis tidak memposisikan diri sebagai role model, penulis di sini adalah sama dengan posisi para pembaca yaitu sebagai pembelajar yang ingin terus menjadi pengusaha dan investor yang lebih baik ). Hasil amatan penulis dalam menemukan real investor role model adalah sebagai berikut :

  1. Role model yang ideal tidak memamerkan keberhasilan 1 atau 2 kali saja, karena informasi sebagian tidak memberitahukan kepada kita apakah hasil dari keputusan tersebut berasal dari proses yang baik atau hanya merupakan kebetulan. Apalagi orang tersebut “berusaha” untuk mempengaruhi kita untuk hanya melihat keberhasilannya saja. Role model yang baik memberikan informasi kepada kita secara keseluruhan, bukan hanya memberikan stockpick saja. Bahkan, menurut penulis investor – investor terbaik di dunia tidak pernah memberikan rekomendasi saham.

    Jika kita pikirkan baik – baik, mengapa seorang Warren Buffett dan investor – investor terbaik di dunia tidak pernah memamerkan ( bragging ) keberhasilan mereka? Sebaliknya mengapa banyak fake guru yang kerap kali mempertontonkan prestasi mereka sendiri? Hal tersebut dikarenakan seorang Buffett cukup jarang melakukan kesalahan dibandingkan dengan keberhasilan yang dicapainya, sehingga jika ia melakukan kesalahan maka orang tersebut akan lebih mudah mengingatnya.

    Sebaliknya ketika orang lebih sering mengalami kegagalan dibandingkan dengan keberhasilan, maka tentu ia dengan mudah untuk ingat dengan keberhasilan dibanding dengan kegagalannya.
  2. Role model yang baik tidak memberikan target kepada performansi investasi diri mereka sendiri atau institusi yang mereka kelola. Mereka tidak terlalu memberikan perhatian kepada performansi bulanan atau bahkan tahunan. Hal ini disebabkan, jika seorang fund manager terlalu memperhatikan keberhasilan jangka “pendek”, tentu mereka akan sulit untuk memanfaatkan peluang jangka panjang yang tersedia. Mereka tidak terlalu mempedulikan relative return tahunan ( IHSG, LQ45, S&P500, IDX30 atau indeks lain ).
  3. Fokus utama role model yang baik adalah kepada absolute return, di mana satu – satunya yang diperhatikan oleh orang tersebut adalah capaian performansi rata – rata tahunan mereka dalam jangka panjang. Role model tersebut tidak akan mempermasalahkan apabila pencapaian mereka tertinggal dibandingkan dengan rata – rata tahunan investor atau fund manager lain dan tentu saja, mereka juga tidak mempermasalahkan apabila banyak sekali orang atau pihak yang mempertanyakan keputusan mereka.

    Seperti pada tahun 2020 ini banyak orang yang mengatakan bahwa Buffett sudah kehilangan kemampuan investasinya karena tidak mau berinvestasi di sektor yang sedang naik daun. Tetapi jika melihat lebih panjang ke belakang, anggapan seperti ini sudah terjadi berulang kali, pada tahun 2008, 2000, 1987 dan pada tahun 1972.

Ketiga hal di atas inilah yang menurut penulis membedakan mana role model yang baik untuk kita pelajari dan sebaliknya. Role model yang baik ingin kita agar bertumbuh menjadi investor yang lebih baik, sedangkan fake guru selalu menginginkan kita untuk envy, ingin kita supaya mengikuti mereka, melebihi keinginan mereka untuk membuat kita menjadi lebih baik.

Mengapa penulis menulis artikel ini? yahh, mungkin karena sudah mulai jenuh dengan semakin banyaknya orang yang terjerumus dan kehilangan banyak uang, dikarenakan banyaknya aksi dari para pemain pencak silat di dunia investasi, yang di mana mereka sendiri mungkin tidak berinvestasi dengan cara yang mereka pakai

Pernah dengar influencer saham yang 90% investasinya di property bukannya di saham?

Ya, ada!

Sampurna Tanzil
28 Feb 2021
1.49 pm