Redwoodinvesting

Memegang Saham vs Memiliki Perusahaan

“Gan, lu masih pegang saham ABCD nggak? udah lumayan kan cuan lu”
“Iya nih gua udah kepikiran untuk nge-lepas, masih wait and see dulu deh, takutnya abis jual malah terbang, kan ampas kalo gitu”


Sebagai orang yang suka dengan dunia psikologi, saya belajar bahwa, mindset tertentu akan menghasilkan pilihan kata – kata tertentu. Misalnya, orang yang pesimis akan berkata “bisa tapi sulit” dan orang yang optimis akan berkata “sulit tapi bisa”, Individu yang bersyukur akan memilih kata – kata “Aku bersyukur karena bisa berlibur ke Bali” dan orang yang penuh penyesalan akan memilih kalimat “Kenapa aku hanya bisa berlibur ke Bali (padahal Hans si sok ganteng itu liburannya ke Eropah)”. I can go on and on but you got my point.

Termasuk 2 kalimat percakapan di awal artikel ini, adalah bentuk manifestasi dari mindset kedua orang tersebut dalam mengelola investasi mereka. Kata – kata yang dipilih adalah “pegang” dan “lepas”, sehubungan dengan saham ABCD. Wah emangnya salah pak Sampurna? ya enggak salah, tetapi ada yang harus digaris bawahi. 2 kata tersebut, tidak cocok digunakan untuk investor yang menggunakan strategi investasi saham jangka panjang (terutama jika strategi yang kamu gunakan adalah strategi Warren Buffett setelah tahun 1972). Mengapa?

Memegang Saham VS Memiliki Perusahaan

Setelah cukup sekian lama meresapi intisari long term investing (halah….), saya melihat banyak sekali contoh, di mana, hampir tidak mungkin seseorang dapat memegang saham dalam jangka waktu yang lama jika sejak awal sebelum membeli saham tersebut, sudah berpikir untuk menjual sahamnya (nanti kalau cuan). Pemilihan kata “pegang” saham, adalah bukti bahwa sejak awal, pembeli saham tersebut, tidak memiliki keinginan untuk memiliki perusahaan tersebut, dan yang sebenarnya diinginkan adalah keuntungan dengan memegang “sementara” saham perusahaan tersebut. Dan sampai di sini sebenarnya tidak ada yang salah.

Tetapi, menggunakan pola investasi Warren Buffett yang sebenarnya mengincar return tinggi dengan memiliki perusahaan dalam jangka panjang, akan sangat susah sekali untuk dilakukan. Lah, untung 10% aja sudah keburu – buru jual, takut nanti harga sahamnya turun lagi, boro – boro mau hold jangka panjang. Strategi investasi jangka panjang yang dipraktekkan oleh Buffett maupun Munger, mengharuskan investor untuk benar – benar berniat memiliki bagian dari perusahaan tersebut, tanpa mempedulikan harga saham, selama perusahaannya benar – benar adalah perusahaan yang baik. Rewardnya, return ribuan persen.

Ingin benar – benar memiliki perusahaannya, tidak dengan berencana sejak awal ingin menjual sahamnya nanti kalau sudah untung. Lah, kan aneh pak Sampurna, wong orang beli saham kan inginnya cuan, kok disuruh pegang selamanya. Nah, jangan salah, sampai dengan hari ini sejak saya membeli saham pertama saya, saya telah membeli kurang lebih 50 nama saham. Dari semua saham itu, hanya 1 saham yang benar – benar di hold lama sampai dengan saat ini. Wah, piye pak Sampurna, jare sampeyan jangan ingin untuk jual saham.

Jika ingin mempraktekkan strategi investasi jangka panjang, tidak ada masalah sebenarnya dengan menjual saham, yang bermasalah adalah, sejak awal sebelum beli, sudah berpikir untuk menjual sahamnya, jadilah konsep “pegang” dan “lepas” akan muncul di kepala kita, yang pada akhirnya membuat kita sering diperintah oleh harga saham, yang sebenarnya harus kita manfaatkan. Jika masih bingung begini analoginya.

Sebelum menikah di tahun 2018, saya membeli rumah untuk tempat tinggal keluarga saya nanti. Dan karena saya value investor, tentu saya mau nya beli rumah yang di bawah harga pasar. Katakanlah, saya membeli rumah dengan harga pasar Rp 3,5 Miliar dengan membayar 3 Miliar.
Rumah ini saya beli karena :
1. Saya butuh rumah
2. Lokasinya dekat tempat kerja dan dekat commercial district (jadi gampang kalau butuh sesuatu)
3. Lingkungannya cukup nyaman dan tenang (enak buat baca, enak banget) dan,
4. Lokasi kompleks rumah sedang dalam fase berkembang

Poin utamanya adalah, saya benar – benar ingin punya rumah ini, tidak ada intensi untuk menjual kembali rumah ini. Rumah ini (sejauh ini) ingin saya hold forever. Home sweet home!

Tetapi, semua niat saya untuk hold forever rumah ini pasti akan saya batalkan, jika, ada orang yang mau membeli rumah ini di harga Rp 15 Miliar (cuma misal saja). Saya dan keluarga saya, dengan “terpaksa” harus menjual rumah tersebut jika ditawar angka double digit miliar barusan. Bisa ditangkap konsepnya?

Oke, kita coba contoh dengan real case pada investasi saham yang pernah saya eksekusi sebelumnya

Harum Energy ( HRUM )

Pada tahun 2019 saya berinvestasi pada perusahaan ini, dengan kondisi sebeagai berikut :
1. Harga saham Rp 260 (atau Rp 1.300 sebelum stocksplit 1 : 5)
2. Market Cap (penjelasan market cap pernah di bahas di artikel ini) pada saat itu sekitar Rp 3,7 Triliun
3. Cash perusahaan pada saat itu sekitar Rp 3,2 Triliun
4. Utang berbunga perusahaan mendekati Rp 0 (tanpa utang bank / obligasi)
5. Rata – rata laba bersih perusahaan dalam 5 – 10 tahun sebelumnya sekitar Rp 400 – Rp 500 Miliar / tahun
6. Rata – rata arus kas operasi perusahaan dalam 5 – 10 tahun sebelumnya sekitar Rp 600 Miliar / tahun
7. Harga batubara ICI 1 (kualitas paling bagus) sekitar USD $60 – $70

Saham ini saya beli karena :
1. Membeli perusahaan harga (market cap) Rp 3,7 Triliun, dapat cash Rp 3,2 T, tidak diwarisi utang bank yang berbunga, yang artinya nilai perusahaan hanya dianggap sekitar Rp 500 Miliar (EV), sedangkan laba bersih logis pada kondisi rata – rata adalah juga Rp 500 M per tahunnya. Hal ini berarti EV/NPM (anggap saja seperti P/E Rasio) di angka 1. Ini murah sekali.
2. Perusahaan masih dikontrol oleh pendiri, yang setelah saya cek track recordnya lebih dari 10 tahun mundur ke belakang, tidak ditemukan adanya pengelolaan perusahaan yang aneh – aneh, dan umumnya manajemen “under promise over deliver“, sehingga saya asumsikan manajemen punya integritas. Mereka juga good capital allocator karena beberapa alasan.
3. Harga batubara sedang rendah. Rekor terendah setelah tahun 2008 adalah USD $50.
dan ada beberapa alasan lain yang terlalu panjang untuk dituliskan di pembahasan artikel ini, meskipun tetap sebenarnya tetap ada kekurangan di semua perusahaan. Tetapi kelebihannya jauh lebih signifikan.

Intinya adalah, saya berkesimpulan, ini perusahaan bagus dan sangat murah, saya benar – benar ingin memiliki perusahaan ini, tidak peduli harga sahamnya, tidak peduli apakah nanti akan dijual lagi nantinya. Saya tidak memegang saham HRUM, saya adalah pemilik perusahaan HRUM (meskipun minoritas, pake banget). Mindset itu yang sebaiknya kita aplikasikan.

Awal 2021, update kondisi adalah sebagai berikut :
1. Harga saham sekitar Rp 1.400, dengan market cap menjadi sekitar Rp 20 Triliun
2. Net profit di tahun 2021 “hanya” Rp 1 Triliun
3. Cash Rp 3,6 Triliun, meskipun tetap tanpa utang berbunga.

Nah, sekarang saya sudah merasa “perusahaan” dihargai terlalu mahal oleh pasar. Rp 20 Triliun untuk perusahaan yang memberikan return Rp 1 Triliun (P/E 20) dan berkarakter cyclical, adalah beresiko tinggi. Valuasi tersebut, saya interpretasikan sebagai “paksaan” market untuk membeli perusahaan yang kita miliki. Akhirnya saya “terpaksa” untuk menjual perusahaan favorit saya, di harga sekitar Rp 1250. Profit 4 baggers pertama saya pada waktu itu.

Senang dong? iya tentu saja, sebelum harga sahamnya naik sampai Rp 2.800! Yang kemudian sekaligus membuat saya melewatkan 10 baggers pertama saya, dan kita bisa bahas ini di kesempatan lain, tentang dealing with regret.

Conclusion

Jika ingin memulai karir sebagai investor, hal yang paling penting adalah mindset, setting awal cara berpikir, strategi dasar yang dianut oleh setiap investor. Konsistensi dalam sistematika pengambilan keputusan akan membantu mengeleminasi kebingungan yang ada saat kamu “megang” sahamnya. Terutama, jika kita berinteraksi dengan aset investasi yang umum ya beresiko tinggi bagi orang kebanyakan, kayak saham. Dan jika sudah memutuskan menggunakan strategi long term, pastikan setting awal pemikiran investasi long term juga, jangan mindset trading cepat dibawa, yang biasanya memang terbawa secara tidak sadar.

Hanya dengan melakukan setting yang tepat pada pemikiran investasi kita, kita akan lebih baik dalam proses membeli saham, lebih baik dalam melakukan hold perusahaan, yang pada akhirnya dalam jangka panjang membuat kita memiliki average return tahunan yang lebih baik.

Semoga memberikan ide tambahan, yang bermanfaat
Cheers!

07/02/23
03.03 pm