Redwoodinvesting

Perusahaan yang Bagus, Tidak Membagikan Dividen

Hari dan Tommy, ada pemegang saham PTBA sejak beberapa tahun yang lalu. Dan baru – baru ini, PTBA membagikan seluruh keuntungannya pada tahun 2022 untuk menjadi dividen yang per lembarnya bernilai Rp 1.000. Padahal, harga sahamnya pada saat itu adalah sekitar Rp 3.000, sehingga Hari dan Tommy berhak untuk mendapatkan hasil investasi berupa dividen setara 33% yield! dan angka ini besar sekali, mengingat deposito / obligasi negara hanya memberikan yield sekitar 6% per tahunnya.

Hari bersuka cita, tetapi Tommy malah merasa lesu. Hari senang karena menapatkan dividen besar dari PTBA, Tommy kurang senang mendapatkan dividen besar, kok bisa? Kan memegang saham yang sama, mendapatkan hasil yang sama. Tetapi mengapa yang satu senang dan yang satu malah merasa kebalikannya?

Mari kita bahas fenomenanya …..

Sebelum melanjutkan lagi ke cerita Hari dan Tommy, kita bahas terlebih dahulu salah satu statement yang sering diucapkan oleh Warren Buffett tentang seberapa lama ia ingin memegang sebuah saham.

“My favorite holding period is forever”

“Saya (Buffett) paling senang memegang saham selamanya”. Bagi kebanyakan orang yang menjadi peserta market, terutama yang tidak terlalu mengenal strategi Buffett, holding forever sering disebut tidak bagus. Mengapa?

Secara data statistik, cukup jarang perusahaan yang mampu bertumbuh di atas rata – rata pertumbuhan market, dengan selisih signifikan dari IHSG (katakan signifikan kalau angka pertumbuhannya sekitar 15% per tahun atau lebih), apalagi dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama. Sedangkan, kalau kita trading dan profit per bulan 5% saja, sudah mengantarkan kita untuk bertumbuh 60% per tahunnya! Kok Buffett nggak mau sih profit besar per tahunnya, malah terus menggunakan value investing yang cuma 15% per tahunnya?

Sebenarnya, yang banyak peserta market tidak ketahui, bukannya Buffett nggak mau profit besar, tapi yang menjadi target besarnya adalah, mendapatkan profit besar tanpa harus mengganti – ganti saham (memiliki perusahaan). Dengan hanya memiliki perusahaan yang benar – benar bagus, Buffett mampu untuk profit besar setiap tahunnya dari berinvestasi, tanpa harus terus – menuerus melakukan rotasi saham. Selama karirnya berinvestasi di Berkshire Hathaway, ia pernah melakukan pembelian sekitar 300 saham (perusahaan). Angka yang cukup banyak, kecuali kita mengetahui bahwa hal itu dilakukan dalam rentang waktu hampir 60 tahun lamanya. Yang artinya secara rata – rata, ia hanya membeli 5 saham per tahunnya.

Tetapi sekalinya investasinya berhasil, perusahaan yang ia beli menghasilkan return.
Contoh :
1. Washington Post, beli $10 juta, jual lebih dari $800 juta, dalam kurun waktu 40 tahun.
2. Apple, beli $36 miliar, sekarang (masih dipegang) dengan value $160 miliar, dalam 7 tahun.
3. Geico, beli $45 juta, bernilai $2.300 juta sekitar 20 tahun kemudian.
4. Kalau di Indonesia ada pak LKH dengan saham MBAI nya ketika dibeli oleh JPFA, yang profit 12.500% nya di saham tersebut.

dan banyak contoh profit jumbo lain seperti Coca – Cola, Gilette / P&G, American Express, atau BBCA dan UNVR yang sudah berlipat ratusan kali dari harga awal nya pada saat melantai di bursa saham.

Nah sekarang, kita juga ingin dong punya perusahaan (saham) yang kemudian bisa profit jumbo seperti contoh di atas. Apakah sebenarnya ada, aspek yang paling dapat memprediksi kenaikan harga saham / perusahaan, yang dapat kita amati sebagi investor?

Ya ada, semua perusahaan tersebut, ternyata punya pertumbuhan sales dan laba bersih yang besar, dari tahun ke tahun. Dengan kata lain perusahaan – perusahaan di atas ini, bertumbuh secara signifikan dan dalam jangka waktu yang lama. Bahasa kerennya, growth company.

Nah, karena dinamakan dengan growth company, mereka membutuhkan, “mesin uang” yang semakin besar dari tahun ke tahun, untuk mencetak sales dan laba yang terus bertumbuh. Dan karena perusahaan – perusahaan ini membutuhkan dana untuk membesarkan “mesin uang” mereka, ada 2 kesamaan yang sering terjadi yaitu, utang berbunga mereka besar, dan mereka jarang (atau malah tidak) membagikan dividen!

Wow, kok bisa tidak membagikan dividen malah bisa dikatakan bagus?
Bukankah itu bukti kalau manajemennya tidak bagus karena tidak memperhatikan pemegang saham kecil seperti kita?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, saya berikan 1 analogi yang cukup pas untuk dijadikan ilustrasi dividen di atas.

Katakanlah ada seorang anak SMA berusia 15 tahun, dan orang tuanya memiliki usaha yang sedang bertumbuh. Memang orang tuanya pernah mengatakan, jika nanti di kemudian hari semua uang dan aset yang dimiliki orang tua akan diwariskan ke dia dan saudara – saudaranya. Kamu mau uangnya kapan nak? sekarang ya nggak apa2 kalau kamu mau.

Nah, kemungkinan, akan ada beberapa anak yang akan meminta uang warisannya langsung di saat itu juga. Tetapi apakah itu yang paling baik? Apakah jika uangnya tetap dikelola oleh orang tua yang semakin hari akan semain besar nilai bisnisnya, sehingga di masa depan akan memberikan jumlah nominal uang yang lebih besar kepada sang anak? Sedangkan anak tidak memiliki kemampuan untuk mengembangkan bisnis seperti yang dilakukan oleh orang tuanya karena ia masih sedang bersekolah.

Jika tujuannya adalah mendapatkan hasil yang optimal, mana yang kira – kira lebih baik?
Uangnya diberikan kepada anak? atau tetap dikelola oleh orang tuanya?
Tentu dikelola oleh orang tua yang sudah menjalankan bisnis sebelumnya akan lebih memberikan peluang lebih baik agar mesin uang nya semakin hari semakin lebih besar.

Balik lagi ke masalah dividen tadi. Jika kita sudah memiliki orang tua (manajemen) yang mampu dan dapat dipercaya, dan bisnisnya sudah berjalan, tentu adalah hal yang kurang bijaksana, jika kita berusaha menghalangi pertumbuhan “mesin uang” tersebut dengan mengeluarkan sumber daya dari perusahaan, yaitu dengan membagikannya dalam bentuk dividen. Dalam hal ini, pemberian dividen justru akan menghambat pertumbuhan perusahaan.

Seperti perusahaan Berkshire Hathaway nya Warren Buffett, sejak tahun 1965 perusahaan tersebut dikendalikan oleh Buffett, hanya pernah sekali perusahaan tersebut membagikan dividen di sekitar tahun 1970 an.

Hasilnya?
Pertumbuhan jutaan persen di mana harga sahamnya (BRK.A) tumbuh dari $8 menjadi $500.000, atau pertumbuhan 5.000.000%, yang disebabkan salah satunya oleh karena BRK tidak pernah membagikan dividen.

Untuk di Indonesia, ada contoh yang sama, misalnya perusahaan DCI Indonesia (DCII). Perusahaan IT ini sejak 2017 sampai dengan hari ini di Juni 2023, telah mengalami pertumbuhan sebagai berikut :
Sales / penjualan, naik 800%, dari Rp 120 miliar menjadi Rp 1 triliun
Laba Operasional, naik 2000% dari Rp 25 miliar menjadi Rp 500 miliar
dan pencapaian ini, umumnya terjadi pada perusahaan yang tidak membagikan dividen.

Jadi mengapa Tommy menjadi lesu ketika PTBA membagikan dividen besar tadi?
Karena Tommy mengetahui, bahwa dividen sebesar itu adalah bukti bahwa “mesin uang” tidak lagi bisa lagi dikembangkan secara signifikan lagi. Pembagian dividen jumbo tadi adalah bukti pengakuan dari manajemen akan fakta tersebut. Hal yang sama juga terjadi pada Unilever Indonesia (UNVR), yang dividennya dibagikan beberapa kali melebihi net profit tahunan perusahaan.

Nah, oke pak Sampurna, Pembagian dividen menghambat pertumbuhan perusahaan, tetapi apa semua perusahaan yang tidak membagikan dividen adalah kesemuanya bagus?
Tentu dapat ditebak jawabannya, tidak! Malah kalau boleh dibilang, sangat sedikit perusahaan yang tidak membagikan dividen adalah perusahaan yang bagus.

Jadi perlu diingat bahwa, perusahaan bagus tidak membagikan dividen, tetapi perusahaan yang tidak membagikan dividen jarang adalah perusahaan yang bagus. Pastikan logika ini tidak terbalik.

Perusahaan hanya benar – benar bagus, dan layak untuk tidak membagikan dividen jika memenuhi 3 kriteria di bawah ini.
1. Perusahaan punya keunggulan kompetitif dibandingkan dengan perusahaan lain yang sejenis (moat)
2. Punya manajemen yang baik dan berintegritas (kejujuran adalah bagian dari integritas)
3. Punya kemampuan untuk menggunakan uang yang dihasilkan, untuk diputar kembali untuk meningkatkan kinerja perusahaan.

Kriteria yang terakhir, adalah alasan utama mengapa perusahaan yang benar – benar bagus untuk tempat kita berinvestasi, tidak membagikan dividen, seperti Buffett dengan Berkshire Hathaway nya.

Semoga berguna buat ingin tahu lebih dalam tentang investasi di perusahaan yang membagikan dividen.

cheers!
21/6/23
02.20 AM

Cara Menentukan Jumlah Dana yang Dibutuhkan untuk Mencapai Kebebasan Finansial – Kalkulator Financial Freedom / FIRE Number Calculation

Handy menyeruput secangkir kopi panas yang tersedia di atas meja teras. Kopi itu baru saja dibuat dengan sedikit campuran susu yang ditakar dengan pas sehingga cocok dinikmati di siang hari yang sejuk. Udara di Interlaken, Swiss memang cukup sejuk meskipun jam menunjukkan pukul 12.00, yang berkisar di antara 9 hingga 16 derajat Celsius.

Sambil membaca buku dan membawa beberapa laporan tahunan perusahaan yang ingin dibacanya, notifikasi masuk di smartphone-nya yang memberikan informasi bahwa minggu depan ia akan menerima dividen dari investasinya di saham LPPF senilai lebih dari 300 juta rupiah, yang kemudian disusul dengan notifikasi dari istri dan anak – anaknya yang mengirimkan foto dari tempat wisata Jungfraujoch, puncak dari daerah Interlaken yang disebut sebagai “Top of Europe”, yang berlokasi sekitar 2 jam perjalanan dari penginapan Handy.

LPPF hanyalah satu dari beberapa investasi saham yang dimiliki oleh Handy. Meskipun tidak lagi bekerja secara aktif, Handy tetap mendapatkan pendapatan yang jauh lebih besar dari kebutuhan sehari – harinya. Sambil tersenyum ia bergumam “enak sekali ya jika sudah mencapai financial freedom, untung saya sudah mulai berinvestasi sejak 25 tahun lalu”.

Nama bapak di atas adalah rekayasa, tetapi storynya adalah nyata. Banyak cara untuk memiliki banyak uang. Tetapi hanya ada 1 cara untuk mencapai kebebasan finansial, yaitu dengan berinvestasi.

Tujuan investasi setiap orang tidak sama. Ada yang berinvestasi sebagai hobi, bahkan ada yang saking hobinya, hasil investasinya nanti, tidak ia gunakan sendiri, tetapi akan disumbangkan seluruhnya ke yayasan sosial seperti Warren Buffett dan Mohnish Pabrai saat mereka berpulang nanti.

Tetapi ada juga yang tujuan investasinya karena mereka tidak ingin hidup mereka hanya bekerja karena membutuhkan uang dan terpaksa menghabiskan lebih dari 70% hidupnya hanya untuk memenuhi basic needs-nya, pada pekerjaan yang sebenarnya tidak disukainya. Tujuan yang menurut saya bagus untuk menjadi cita – cita semua orang. Keluar dari rat – race, kerja – dapat uang – dipakai sampai tak bersisa – kerja lagi – sampai mati.

Lebih masuk akal bekerja untuk mendapatkan kebebasan, daripada bekerja untuk mendapatkan uang banyak

Sebelum melanjutkan saya rasa perlu ada poin yang perlu saya angkat. Di dunia ini ada 2 resource (sumber daya) yang menurut saya cukup penting yaitu mendapatkan kebebasan.
yang pertama adalah uang
yang kedua adalah waktu
Kita bahas …

Orang yang memiliki terlalu banyak waktu, ada kemungkinan ia tidak memiliki uang, biasanya anak yang memang masih belum bekerja, atau memang skillnya kurang dibutuhkan oleh pasar pencari kerja. Dan sebaliknya, seseorang yang memiliki banyak sekali uang, ternyata tidak semuanya memiliki waktu. Bahkan anak – anaknya ada yang hampir tidak pernah melihat orang tuanya dalam 1 tahun.

Untuk seseorang dapat benar – benar merasa bebas (freedom) dalam hidup mereka, keduanya harus dimiliki dengan cukup. Jika kamu memiliki banyak sekali uang, tetapi hari – harimu habis di kantor / tempat kerjamu maka kamu sebenarnya belum mencapai freedom, karena begitu kamu mulai berhenti bekerja, maka uangmu akan berkurang dan pada akhirnya habis. Dan kalau uang mu habis, kamu harus bekerja kembali. Kita hanya akan benar – benar mencapai freedom jika kita hanya memiliki banyak uang, dan juga waktu.

lalu, bagaimana cara untuk (benar – benar) mencapai kebebasan finansial ?

Cukup simpel, urutannya
1. Punya uang banyak
2. Uang banyak di atas, bisa “ditempatkan” di aset (kita sebut saja ini “mesin uang“) yang menghasilkan uang turunan
3. Uang turunan ini, yang digunakan untuk membiayai 2 hal, yaitu
a. Kebutuhan hidup tahunanmu
b. Re-investasi mesin uang agar uang banyakmu di poin no 1, tetap cukup meskipun ada yang namanya inflasi
4. Selesai, sekarang kamu boleh bekerja secara aktif kalau kamu mau, kalau tidak pun, yang penting pastikan mesin uangmu dikelola dengan baik (dengan melakukan proses investasi yang baik, jangan dikit – dikit sok all an, all in)

Untuk artikel ini, pembahasan akan fokus di poin no 1.

Uang banyak itu seberapa banyak?

Jumlah uang (aset produktif) yang dibutuhkan adalah sejumlah nilai aset yang cukup untuk membiayai kebutuhan hidup tanpa aset tersebut kehilangan valuenya, angka ini sering disebut dengan FI/RE number (Financial Freedom / Retire Early Number). Simpelnya, cari uang sebanyak mungkin selama dengan cara yang halal supaya FIRE Number mu cepat tercapai.

Mengapa FIRE Number itu penting?

30 tahun lalu, di mana masyarakat belum hidup di jaman kemajuan teknologi seperti sekarang, sangat sedikit informasi yang bisa didapatkan jika kita mencari tentang sesuatu (jaman pra google), sehingga munculnya internet dan google sangat membantu manusia untuk untuk menemukan informasi yang dibutuhkan. Tetapi di abad ke-21 ini, kemajuan teknologi begitu cepatnya terjadi, kekurangan informasi bukan lagi masalah, masalah sekarang berbalik kepada terlalu banyaknya informasi yang “memaksa” masuk ke perhatian setiap orang, di sosial medianya misalnya.

Tanpa kita memiliki angka yang tangible untuk dijadikan target utama dalam kehidupan finansial, akan sangat mudah kita terdistraksi dengan apa yang ada di lingkungan kita, baik dunia nyata dan terutama di dunia maya. FIRE Number yang jelas membantu kita stay on track.

Bisa kasih contoh FIRE Number?

Adi, usia 30 tahun, memiliki pengeluaran per bulan Rp 20 juta.
Berarti pengeluaran tahunannya adalah Rp 20 juta x 12 = Rp 240 juta.
FIRE Number Adi adalah Rp 6 Miliar.

Dengan memiliki Rp 6 Miliar, Adi akan dapat memenuhi kebutuhan sehari – hari nya dengan hasil investasinya saja yang mencapai angka Rp 20 juta, tanpa ia harus bekerja lagi secara aktif.

Bagaimana cara menghitung FIRE Number kita, kan setiap orang berbeda angkanya?

Kalau kamu orang matematika, kamu dapat menggunakan rumus geometri untuk mendapatkan jumlah deret nya.
Kalau kamu orang manajemen keuangan, kamu dapat menggunakan rumus Present dan Future Value dengan menggunakan rumus excel / google sheet.
Kalau kamu adalah profesional atau pemilik usaha yang sudah sibuk tetapi tetap ingin mencapai Financial Freedom tanpa ribet membuat rumus dan kalkulatornya, silahkan langsung download kalkulatornya di sini.

Yang sudah download kalkulatornya dan masih merasa kurang paham penggunaan atau interpretasinya, silahkan komen di kolom komentar di bawah ini ya.

CONCLUSION

FInancial Freedom is real.
Saya sudah mengenal sudah cukup banyak orang yang telah mencapai posisi ini, untuk membuktikan kepada saya sendiri bahwa konsep ini proven.
But, please be sceptical enough, there are too much people telling BS about something like – “How to be Financial Free without any effort or any pain”.
Jalan untuk menuju Financial Freedom yang terbaik, dirancang oleh diri sendiri, tidak bisa didapat langsung hanya dengan mengikuti 1 kelas, apalagi hanya modal bot (yang financial freedom yang bikin bot). Start with knowing your FIRE Number, just click here to know your number.

Hope it helps, cheers!
Sampurna,
May 23
02.10 pm


80% keberhasilan investasi saham ditentukan saat kita menemukan hal ini

Sebagai salah seorang yang sangat suka untuk mempelajari hal baru ( beberapa hal, tidak hanya investasi ), penulis menyadari dengan jelas bahwa ada 2 hal yang mempengaruhi secara signifikan keberhasilan kita dalam menguasai sesuatu adalah ada / tidak nya role model ( panutan ) dan apakah role model yang kita pelajari capable dan sejalan dengan tujuan pembelajaran kita.

Contohnya, penulis memiliki hobi olahraga tenis, dan karena pelatih tenis ( role model ) itu feenya tidak murah dan penulis memang benar – benar mulai dari 0 ketika mulai belajar bermain tenis, maka penulis dengan 2 orang temannya memilih untuk berlatih sendiri. Kita sewa lapangan sendiri, membeli 6 bola baru dan raket tenis baru ( tanpa mengetahui raket ternyata ada jenisnya ) dan mulailah kita bermain.

Hal yang tidak terpikir adalah, berbeda dengan olahraga bulu tangkis di mana seburuk – buruknya kita sebagai pemula kita pasti bisa memainkan olahraga bulu tangkis, pada olahraga tenis sekali kita salah memukul bola maka bola tersebut akan terlempar jauh dan untuk hanya mengambil kembali bolanya saja membutuhkan waktu yang banyak ( malah gak jadi latihan tenis )

Belum lagi ternyata permainan tenis ternyata sama sekali tidak mirip dengan bulu tangkis ( asumsi awal penulis karena sama – sama menggunakan raket, not so smart assumption ), tenis ternyata lebih mirip golf atau baseball yang menggunakan _swing_ lebih daripada _slap_ ( memukul shuttlecock bulu tangkis tidak membutuhkan awalan posisi raket ). Intinya adalah karena kita tidak memiliki role model sebagai contoh, maka pembelajaran yang kita lakukan sangat tidak efektif, dan juga menghabiskan waktu, tenaga dan biaya

Lalu pertanyaan kedua yang harus dijawab mengenai role model adalah apakah role model tersebut punya kemampuan yang kita butuhkan dan apakah kemampuan tersebut sesuai dengan apa yang ingin kita pelajari. Contohnya, penulis tidak akan mendapatkan hasil yang memuaskan jika menggunakan jasa pelatih terbaik tetapi di olahraga bulu tangis, padahal skill yang ingin dikuasai adalah tenis. Oleh karena itu, kecocokan antara kapabilitas role model dengan kebutuhan kita adalah krusial.

Oke lalu apa hubungannya dengan berinvestasi ?

Keberadaan role model ( tidak harus mentor riil, Benjamin Franklin pun bisa kita jadikan role model  ) adalah krusial pada saat kita ingin mempelajari apapun, termasuk dalam investasi saham. Kecuali kita adalah orang yang berbakat sejak lahir, adanya role model akan sangat membantu kita dalam mempelajari bagamana proses untuk menghasilkan suatu keputusan yang baik.

Kemudian, role model yang kita amati harus memiliki prinsip yang senilai dengan kita. Contohnya, tujuan utama penulis mempelajari investasi adalah untuk melawan inflasi dan mencapai kebebasan finansial dalam jangka panjang. Oleh karena itu, semua role model yang memiliki idea untuk quick profit dari investasi jangka pendek namun dengan risiko yang tidak dikontrol akan tidak cocok dengan value yang penulis cari

dan yang terakhir dan sangat penting adalah kita mengerti bagaimana melakukan cara untuk mengenali keberhasilan investasi yang dimiliki seseorang, sehingga kita bisa membedakan manakah yang merupakan real “role model” dan yang mana “fake guru” ( yang pasti di sini adalah penulis tidak memposisikan diri sebagai role model, penulis di sini adalah sama dengan posisi para pembaca yaitu sebagai pembelajar yang ingin terus menjadi pengusaha dan investor yang lebih baik ). Hasil amatan penulis dalam menemukan real investor role model adalah sebagai berikut :

  1. Role model yang ideal tidak memamerkan keberhasilan 1 atau 2 kali saja, karena informasi sebagian tidak memberitahukan kepada kita apakah hasil dari keputusan tersebut berasal dari proses yang baik atau hanya merupakan kebetulan. Apalagi orang tersebut “berusaha” untuk mempengaruhi kita untuk hanya melihat keberhasilannya saja. Role model yang baik memberikan informasi kepada kita secara keseluruhan, bukan hanya memberikan stockpick saja. Bahkan, menurut penulis investor – investor terbaik di dunia tidak pernah memberikan rekomendasi saham.

    Jika kita pikirkan baik – baik, mengapa seorang Warren Buffett dan investor – investor terbaik di dunia tidak pernah memamerkan ( bragging ) keberhasilan mereka? Sebaliknya mengapa banyak fake guru yang kerap kali mempertontonkan prestasi mereka sendiri? Hal tersebut dikarenakan seorang Buffett cukup jarang melakukan kesalahan dibandingkan dengan keberhasilan yang dicapainya, sehingga jika ia melakukan kesalahan maka orang tersebut akan lebih mudah mengingatnya.

    Sebaliknya ketika orang lebih sering mengalami kegagalan dibandingkan dengan keberhasilan, maka tentu ia dengan mudah untuk ingat dengan keberhasilan dibanding dengan kegagalannya.
  2. Role model yang baik tidak memberikan target kepada performansi investasi diri mereka sendiri atau institusi yang mereka kelola. Mereka tidak terlalu memberikan perhatian kepada performansi bulanan atau bahkan tahunan. Hal ini disebabkan, jika seorang fund manager terlalu memperhatikan keberhasilan jangka “pendek”, tentu mereka akan sulit untuk memanfaatkan peluang jangka panjang yang tersedia. Mereka tidak terlalu mempedulikan relative return tahunan ( IHSG, LQ45, S&P500, IDX30 atau indeks lain ).
  3. Fokus utama role model yang baik adalah kepada absolute return, di mana satu – satunya yang diperhatikan oleh orang tersebut adalah capaian performansi rata – rata tahunan mereka dalam jangka panjang. Role model tersebut tidak akan mempermasalahkan apabila pencapaian mereka tertinggal dibandingkan dengan rata – rata tahunan investor atau fund manager lain dan tentu saja, mereka juga tidak mempermasalahkan apabila banyak sekali orang atau pihak yang mempertanyakan keputusan mereka.

    Seperti pada tahun 2020 ini banyak orang yang mengatakan bahwa Buffett sudah kehilangan kemampuan investasinya karena tidak mau berinvestasi di sektor yang sedang naik daun. Tetapi jika melihat lebih panjang ke belakang, anggapan seperti ini sudah terjadi berulang kali, pada tahun 2008, 2000, 1987 dan pada tahun 1972.

Ketiga hal di atas inilah yang menurut penulis membedakan mana role model yang baik untuk kita pelajari dan sebaliknya. Role model yang baik ingin kita agar bertumbuh menjadi investor yang lebih baik, sedangkan fake guru selalu menginginkan kita untuk envy, ingin kita supaya mengikuti mereka, melebihi keinginan mereka untuk membuat kita menjadi lebih baik.

Mengapa penulis menulis artikel ini? yahh, mungkin karena sudah mulai jenuh dengan semakin banyaknya orang yang terjerumus dan kehilangan banyak uang, dikarenakan banyaknya aksi dari para pemain pencak silat di dunia investasi, yang di mana mereka sendiri mungkin tidak berinvestasi dengan cara yang mereka pakai

Pernah dengar influencer saham yang 90% investasinya di property bukannya di saham?

Ya, ada!

Sampurna Tanzil
28 Feb 2021
1.49 pm