Redwoodinvesting

Analisa Fundamental Saham ICBP – Part 2 | ICBP Disebut Sebagai Wonderful Company di Indonesia, layakkah? – Penjelasan 6 Segmen Pencetak Laba ICBP

Semua konten yang dibuat oleh “Redwood Investing” adalah untuk edukasi dan hiburan saja. Informasi ini tidak ditujukan mengarahkan siapapun untuk membeli dan menjual suatu aset atau securities tertentu. Sebelum mengeksekusi keputusan investasi, lakukan analisa secara mandiri yang mendalam, analisalah apakah cara tertentu cocok dengan diri investor masing – masing. Pertimbangkan untuk mencari pendapat pihak profesional penasehat investasi jika merasa membutuhkan. “Redwood Investing” tidak bertanggung jawab atas segala keputusan investasi yang dibuat oleh masing – masing investor.

Bagian ini adalah bagian kedua dari analisa bisnis (dan sebagai saham) dari PT Indofood CBP.
Bagian pertama dapat dilihat dengan klik link ini.
Data lengkap 8Filings yang akan digunakan pada artikel ini juga dapat di download di sini.
Ok, let’s jump in.

Gambar 8 – Sumber : 8-Filings ICBP

9. Meskipun perusahaan ini memang memiliki 5 lini usaha lain selain segmen mie instan (produk susu, makanan ringan, penyedap makanan, minuman dan segmen nutrisi), tetapi segmen mie instan adalah kelompok bisnis yang memberikan sumbangan terbesar untuk perusahaan di sisi total nominal penjualan dan persentase laba kotor-nya (gambar 8). Tentu tidak aneh, karena memang produk tersebut yang paling digemari di Indonesia dan bahkan beberapa negara lain (di Indonesia pangsa pasarnya bahkan mencapai lebih dari 70% lebih). Namun ada satu hal yang lebih menarik melihat gambar 9.

Gambar 9 – Sumber : 8-Filings ICBP / open image in a new tab untuk melihat gambar lebih besar

10. Dalam 3 tahun terakhir, perusahaan dan manajemen ternyata berhasil meningkatkan secara signifikan laba usaha segmen terbesarnya, baik secara nominal, dan juga secara persentase laba usahanya. Dari rata – rata 16% di 3 tahun pertamanya sejak IPO, menjadi sekitar 23% di 3 tahun buku terakhir. Peningkatan ini termasuk signifikan, karena dengan efisiensi di sisi operasional ini, ICBP mampu menaikkan laba usaha segmen ini sebesar 500% (Rp 2 T menjadi Rp 10 T) dengan hanya menaikkan total penjualan sebesar 350% (Rp 13 T menjadi Rp 47 T) dalam jangka waktu 12 tahun. Untuk sebuah perusahaan yang sudah besar sejak awal IPO, kenaikan ini adalah cukup tinggi.

Gambar 10 – Sumber : 8-Filings ICBP

11. Memang tidak semua segmen dari ICBP berkembang seperti yang diharapkan oleh manajemen. meskipun hampir semua segmen mencatatkan pertumbuhan penjualan dalam 12 tahun (gambar 10) terakhir semenjak IPO, segmen minuman ternyata belum menunjukkan kinerja yang diharapkan. Meskipun mencatatkan pertumbuhan penjualan yang signifikan (24% / tahun dalam 9 tahun terakhir), tetapi secara keseluruhan sejak segmen ini diinisiasi perusahaan masih menanggung kerugian jumbo sebesar lebih dari Rp 1,7 Triliun. Hanya saja, ada sedikit kabar baik dari segmen ini, yaitu dalam 2 tahun terakhir telah mulai mencatatkan keuntungan pasca menghentikan kerjasama dengan pepsi dalam penjualan “Pepsi“, “Mirinda“,dan “7Up“, meskipun harus dibayar mahal dengan efektifitas penjualan yang tidak maksimal, karena hanya mencatatkan persentase laba usaha tidak lebih dari 5% (bandingkan dengan segmen mie instan yang memiliki laba usaha konsisten lebih dari 20%).

Lalu bagaimana dengan bahan baku yang digunakan, bukankah dalam 1 – 2 tahun terakhir banyak terjadi kenaikan harga komoditas? sampai – sampai salah satu pihak dari kementerian “terkait” menyampaikan berita tentang kenaikan harga gandum sebagai bahan baku mie instant akan membuat harga mie instan bisa naik sampai 3 kali lipat? kita lompat ke gambar 11.

Gambar 11 – Sumber : 8-Filings ICBP

12. Benar memang ada kenaikan bahan baku secara persentase pada tahun 2022 (pasca perang Rusia – Ukraina) dibandingkan dengan kondisi pada 2019. Tetapi kenaikan tersebut hanyalah sebesar 5% yang dapat terlihat dari % terhadap COGS (harga bahan baku) pada 4 tahun terakhir.

Ada beberapa hal yang kemungkinan menjadi penyebab “mild“-nya kenaikan bahan baku.
Pertama, bahan baku mie instan bukan hanya gandum, sekitar 30% – 40% biaya bahan baku adalah minyak goreng (iya harus digoreng dulu sebelum masuk ke bungkus), yang penasaran bisa lihat video proses pembuatan mie instan di sini. Bahan baku lainnya adalah kemasan yang berkisar sekitar 10% dari biaya bahan baku, bukan bungkus plastik yang buat packaging-nya saja, karton jangan lupa dihitung.
Kedua, kemungkinan lain adalah ICBP meminta “tolong” kepada saudara nya yaitu Bogasari dan Indoagri dari INDF untuk memberikan special price untuk tepung dan minyak goreng yang digunakan.
Ketiga, kemungkinan lainnya adalah, manajemen, sebegitu bagusnya dalam memitigasi resiko, dengan melakukan pembelian futures gandum di harga tertentu, sehingga dampak kenaikan COGS tidak terasa langsung.
Dan keempat, yang terakhir, ICBP sangat mungkin pass on kenaikan harga tersebut kepada konsumen. Menurut info yang saya dapatkan dari para distributor Indomie, produk mie-nya naik sebesar Rp 100 – Rp 200 perak saja. Ngga terlalu berimpact seharusnya kalau memang cocok dengan produknya kan?

Gambar 12 – Sumber : 8-Filings ICBP

13. Secara grup ICBP keseluruhan, manajemen juga berhasil menurunkan rata – rata biaya bahan baku dari sekitar 60% di 2012 – 2013 menjadi sekitar 52% di 2 – 3 tahun terakhir (gambar 12).

Gambar 13 – Sumber : 8-Filings ICBP

“Tapi bang, teman saya bilang ICBP sudah tidak sebagus dahulu, lihat saja laba bersihnya turun dari terus dalam 2 tahun terakhir dari
Rp 6,6 T (2020) menjadi
Rp 6,4 T (2021) dan kemudian menjadi
Rp 4,6 T (2020), kan jelek nih?!”

14. Pada gambar 13 kita dapat melihat dokumentasi kerugian di atas kertas ICBP yang menggunakan denominasi rupiah, dikarenakan adanya selisih kurs. Di samping ICBP memang menerima pembayaran di beberapa negara dengan menggunakan mata uang di negara tersebut seperti USD, SGD, Lira Turki, Yen Jepang, Dinar Serbia, Shilling Kenya, Dinar Maroko dst., maka kerugian Rp 3,4 Triliun akibat perbedaan selisih kurs tersebut “hanya” akan terjadi, jika seluruh mata uang dan aset di negara lain tersebut dikonversi menjadi rupiah IDR. Apa iya mau dirupiahkan semua?

Sebaliknya jika kita melihat pada aset lancar perusahaan yaitu uang kas, ICBP memiliki semua uang tersebut dalam mata uang negara tersebut di beberapa bank luar negeri. Sehingga asumsi saya adalah, kerugian itu sebenarnya tidak pasti terjadi (atau hampir pasti tidak terjadi seperti yang diangkakan di laporan keuangan), meskipun ada kemungkinan bahwa utang berbunga obligasi yang dimiliki ICBP yang harus dibayar dalam USD, akan “memaksa” perusahaan untuk merealisasikan kerugian tersebut.

Tapi jika melihat posisi kas USD ICBP per 31 Desember 2022 sebesar USD 893 juta dan biaya bunga obligasi sebesar USD 130 – 150 juta / tahunnya, sepertinya realisasi kerugian seperti di laporan keuangan kecil kemungkinannya untuk terjadi.

Gambar 14– Sumber : 8-Filings ICBP

15. Tetapi benar, manajemen ICBP sekarang memainkan permainan yang lebih beresiko, dengan meningkatkan jumlah utang berbunga terhadap aset yang dulunya berkisar di bawah 10% aset, menjadi 40% dari aset (gambar 14), yang tentunya memaksa perusahaan harus membayar beban bunga yang berkali lipat dibandingkan tahun – tahun sebelumnya.

16. Lalu bagaimana pak Sampurna kesimpulannya, apakah ICBP ini adalah perusahaan yang benar – benar wonderful company?
Pada artikel berikutnya saya akan coba bahas tentang 2 metriks yang paling baik untuk digunakan untuk melihat kualitas sebuah perusahaan, terutama perusahaan consumer yang diasumsikan memiliki pendapatan yang konsisten.

Saya akhiri part 2 sampai di sini dulu, sampai bertemu di part 3.

Cheers!

Sampurna
9/9/23
02.59 am


================================

What might interest you :

——– Kenali angka bebas finansial-mu klik di sini ——–
——– Financial Plan sebelum mulai invest saham klik di sini ——–
——– Cara untuk sukses berinvestasi saham dengan keberhasilan lebih dari 90% klik di sini ——–

Warren Buffett adalah Investor Terbaik Abad 20 – Ini Alasannya

Belajar memang bisa dari siapa saja, termasuk untuk mempelajari bisnis dan investasi. Ada yang belajar secara resmi dengan mengikuti sekolah bisnis, tetapi kita juga bisa belajar secara non-formal. Belajar secara non-formal bisa dengan mengamati keluarga kita yang pebisnis, atau dengan mengenal dan memiliki mentor yang dapat menunjukkan jalan yang terbaik menurut pengalaman mereka, atau kita juga dapat memilih mentor yang merupakan investor kelas dunia meskipun mereka tidak secara langsung mengenal dan secara langsung berdiskusi dengan kita.

Lo Kheng Hong adalah salah satu contohnya. Dengan belajar dari mentor tidak langsungnya yaitu Buffett, ia dapat ikut merasakan profit yang sangat signifikan dari berinvestasi di pasar saham tanpa harus dimentor secara langsung oleh sang “Oracle of Omaha” julukan Buffett.

Lalu mengapa Warren Buffett – lah yang dijadikan oleh pak LKH sebagai panutan untuk mempelajari investasi? coba kita sedikit kulik pada artikel ini. Semoga bermanfaat.

Mengapa Warren Buffett adalah investor terbaik abad 20?

Ada beberapa alasan yang menunjukkan bahwa Buffett adalah investor terbaik yang pernah ada terutama di abad 21, berikut beberapa alasannya :

1. Memiliki track record pertumbuhan aset bersih 20% per tahunnya, selama hampir 60 tahun, tanpa menggunakan leverage (hutang berbunga) yang signifikan.

Memang beberapa investor memiliki tingkat pertumbuhan aset tahunan yang lebih besar seperti
Peter Lynch 13 tahun dengan 29% annual growth
Jim Simmons 20 tahun dengan 40% annual growth
Tetapi untuk mendapatkan pertumbuhan dengan nilai lebih dari 15% selama kurun waktu lebih dari 40 tahun, adalah sangat amat sulit untuk dilakukan.

Dengan pertumbuhan 20% selama kurun waktu 60 tahun, maka uang senilai Rp 100 ribu akan menjadi sekitar Rp 2,2 miliar. Insane return! next ….

2. Cara Investasi Buffett sangat mudah untuk dimengerti dan paling memungkinkan untuk dipelajari dan dipraktekkan oleh investor lain, bahkan meskipun orang tersebut bukanlah orang dari background finance.

Beberapa dari pengikut Buffett bahkan sudah dapat dikatakan sebagai guru investing bagi banyak investor lain seperti Bill Ackman, Mohnish Pabrai, Tom Gayner, Chuck Akre, Tom Russo, Seth Klarman, Li Lu, Joel Greenblatt dan yang paling terkenal dari Indonesia, Lo Kheng Hong.

3. Warren Buffett adalah satu – satunya 10 orang terkaya di dunia yang tidak menciptakan produknya sendiri.

Jika kita melihat kepada beberapa orang penyandang status sebagai orang terkaya. Hampir semuanya adalah seorang founder (pendiri perusahaan) seperti Elon Musk (Tesla), Jeff Bezos (Amazon), Bill Gates (Microsoft), Larry Page (Google & Youtube). Dalam kasus Buffett, perusahaannya Berkshire Hathaway adalah perusahaan yang ia beli dari pemilik aslinya, yaitu Seabury Stanton di sekitar tahun 1965.

dan fakta ini bukan menunjukkan bahwa Buffett inferior dibandingkan orang terkaya lain, justru hal ini menunjukkan keahlian utama Buffett adalah sebagai investor, bukan sebagai pencipta produk.

4. Buffett adalah seorang guru dan mentor yang sangat baik dan efektif

Sebagai orang yang sangat suka melakukan sharing terutama kepada anak muda, Buffett tidak hanya bercerita tentang bagaimana cara mendapatkan uang dengan berinvestasi, tetapi menunjukkan kepada dunia bahwa memiliki karakter yang baik akan sangat membantu menjadikan kita investor yang baik

seperti contohnya tentang kemandirian berpikir, kesabaran, kesederhanaan, kejujuran (agar dipercaya orang dan akhirnya orang senang berbisnis dengan kita), ketekunan dan juga pemikiran “low expectancy”.

Semua ilmu yang dibagikan oleh Buffett kepada banyak orang selalu dilakukan dengan menggunakan bahasa yang sangat mudah dicerna, tidak pernah menggunakan jargon – jargon yang sulit untuk dimengerti, apalagi menggunakan rumus – rumus yang rumit. Dan yang terpenting, Buffett selalu dapat menyederhakan sebuah ide rumit, agar dapat dicerna dengan mudah dan cepat oleh hampir semua orang.

Conclusion

Tidak heran mengapa banyak orang (termasuk saya) yang ingin belajar dari Buffett, cara yang sudah terbukti, replicable dan penjelasan yang sangat mudah untuk dicerna, tentu tidak salah jika banyak orang menyebutkan Buffett adalah investor terbaik abad 20. Acara rapat pemegang saham tahunan yang diadakan, yang sering kali dihadiri oleh lebih dari 40.000 pemegang saham yang datang dari seluruh dunia, merupakan bukti pendukung tentang status Buffett sebagai “Oracle of Omaha”.

13/7/23
01.18 am

Perusahaan yang Bagus, Tidak Membagikan Dividen

Hari dan Tommy, ada pemegang saham PTBA sejak beberapa tahun yang lalu. Dan baru – baru ini, PTBA membagikan seluruh keuntungannya pada tahun 2022 untuk menjadi dividen yang per lembarnya bernilai Rp 1.000. Padahal, harga sahamnya pada saat itu adalah sekitar Rp 3.000, sehingga Hari dan Tommy berhak untuk mendapatkan hasil investasi berupa dividen setara 33% yield! dan angka ini besar sekali, mengingat deposito / obligasi negara hanya memberikan yield sekitar 6% per tahunnya.

Hari bersuka cita, tetapi Tommy malah merasa lesu. Hari senang karena menapatkan dividen besar dari PTBA, Tommy kurang senang mendapatkan dividen besar, kok bisa? Kan memegang saham yang sama, mendapatkan hasil yang sama. Tetapi mengapa yang satu senang dan yang satu malah merasa kebalikannya?

Mari kita bahas fenomenanya …..

Sebelum melanjutkan lagi ke cerita Hari dan Tommy, kita bahas terlebih dahulu salah satu statement yang sering diucapkan oleh Warren Buffett tentang seberapa lama ia ingin memegang sebuah saham.

“My favorite holding period is forever”

“Saya (Buffett) paling senang memegang saham selamanya”. Bagi kebanyakan orang yang menjadi peserta market, terutama yang tidak terlalu mengenal strategi Buffett, holding forever sering disebut tidak bagus. Mengapa?

Secara data statistik, cukup jarang perusahaan yang mampu bertumbuh di atas rata – rata pertumbuhan market, dengan selisih signifikan dari IHSG (katakan signifikan kalau angka pertumbuhannya sekitar 15% per tahun atau lebih), apalagi dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama. Sedangkan, kalau kita trading dan profit per bulan 5% saja, sudah mengantarkan kita untuk bertumbuh 60% per tahunnya! Kok Buffett nggak mau sih profit besar per tahunnya, malah terus menggunakan value investing yang cuma 15% per tahunnya?

Sebenarnya, yang banyak peserta market tidak ketahui, bukannya Buffett nggak mau profit besar, tapi yang menjadi target besarnya adalah, mendapatkan profit besar tanpa harus mengganti – ganti saham (memiliki perusahaan). Dengan hanya memiliki perusahaan yang benar – benar bagus, Buffett mampu untuk profit besar setiap tahunnya dari berinvestasi, tanpa harus terus – menuerus melakukan rotasi saham. Selama karirnya berinvestasi di Berkshire Hathaway, ia pernah melakukan pembelian sekitar 300 saham (perusahaan). Angka yang cukup banyak, kecuali kita mengetahui bahwa hal itu dilakukan dalam rentang waktu hampir 60 tahun lamanya. Yang artinya secara rata – rata, ia hanya membeli 5 saham per tahunnya.

Tetapi sekalinya investasinya berhasil, perusahaan yang ia beli menghasilkan return.
Contoh :
1. Washington Post, beli $10 juta, jual lebih dari $800 juta, dalam kurun waktu 40 tahun.
2. Apple, beli $36 miliar, sekarang (masih dipegang) dengan value $160 miliar, dalam 7 tahun.
3. Geico, beli $45 juta, bernilai $2.300 juta sekitar 20 tahun kemudian.
4. Kalau di Indonesia ada pak LKH dengan saham MBAI nya ketika dibeli oleh JPFA, yang profit 12.500% nya di saham tersebut.

dan banyak contoh profit jumbo lain seperti Coca – Cola, Gilette / P&G, American Express, atau BBCA dan UNVR yang sudah berlipat ratusan kali dari harga awal nya pada saat melantai di bursa saham.

Nah sekarang, kita juga ingin dong punya perusahaan (saham) yang kemudian bisa profit jumbo seperti contoh di atas. Apakah sebenarnya ada, aspek yang paling dapat memprediksi kenaikan harga saham / perusahaan, yang dapat kita amati sebagi investor?

Ya ada, semua perusahaan tersebut, ternyata punya pertumbuhan sales dan laba bersih yang besar, dari tahun ke tahun. Dengan kata lain perusahaan – perusahaan di atas ini, bertumbuh secara signifikan dan dalam jangka waktu yang lama. Bahasa kerennya, growth company.

Nah, karena dinamakan dengan growth company, mereka membutuhkan, “mesin uang” yang semakin besar dari tahun ke tahun, untuk mencetak sales dan laba yang terus bertumbuh. Dan karena perusahaan – perusahaan ini membutuhkan dana untuk membesarkan “mesin uang” mereka, ada 2 kesamaan yang sering terjadi yaitu, utang berbunga mereka besar, dan mereka jarang (atau malah tidak) membagikan dividen!

Wow, kok bisa tidak membagikan dividen malah bisa dikatakan bagus?
Bukankah itu bukti kalau manajemennya tidak bagus karena tidak memperhatikan pemegang saham kecil seperti kita?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, saya berikan 1 analogi yang cukup pas untuk dijadikan ilustrasi dividen di atas.

Katakanlah ada seorang anak SMA berusia 15 tahun, dan orang tuanya memiliki usaha yang sedang bertumbuh. Memang orang tuanya pernah mengatakan, jika nanti di kemudian hari semua uang dan aset yang dimiliki orang tua akan diwariskan ke dia dan saudara – saudaranya. Kamu mau uangnya kapan nak? sekarang ya nggak apa2 kalau kamu mau.

Nah, kemungkinan, akan ada beberapa anak yang akan meminta uang warisannya langsung di saat itu juga. Tetapi apakah itu yang paling baik? Apakah jika uangnya tetap dikelola oleh orang tua yang semakin hari akan semain besar nilai bisnisnya, sehingga di masa depan akan memberikan jumlah nominal uang yang lebih besar kepada sang anak? Sedangkan anak tidak memiliki kemampuan untuk mengembangkan bisnis seperti yang dilakukan oleh orang tuanya karena ia masih sedang bersekolah.

Jika tujuannya adalah mendapatkan hasil yang optimal, mana yang kira – kira lebih baik?
Uangnya diberikan kepada anak? atau tetap dikelola oleh orang tuanya?
Tentu dikelola oleh orang tua yang sudah menjalankan bisnis sebelumnya akan lebih memberikan peluang lebih baik agar mesin uang nya semakin hari semakin lebih besar.

Balik lagi ke masalah dividen tadi. Jika kita sudah memiliki orang tua (manajemen) yang mampu dan dapat dipercaya, dan bisnisnya sudah berjalan, tentu adalah hal yang kurang bijaksana, jika kita berusaha menghalangi pertumbuhan “mesin uang” tersebut dengan mengeluarkan sumber daya dari perusahaan, yaitu dengan membagikannya dalam bentuk dividen. Dalam hal ini, pemberian dividen justru akan menghambat pertumbuhan perusahaan.

Seperti perusahaan Berkshire Hathaway nya Warren Buffett, sejak tahun 1965 perusahaan tersebut dikendalikan oleh Buffett, hanya pernah sekali perusahaan tersebut membagikan dividen di sekitar tahun 1970 an.

Hasilnya?
Pertumbuhan jutaan persen di mana harga sahamnya (BRK.A) tumbuh dari $8 menjadi $500.000, atau pertumbuhan 5.000.000%, yang disebabkan salah satunya oleh karena BRK tidak pernah membagikan dividen.

Untuk di Indonesia, ada contoh yang sama, misalnya perusahaan DCI Indonesia (DCII). Perusahaan IT ini sejak 2017 sampai dengan hari ini di Juni 2023, telah mengalami pertumbuhan sebagai berikut :
Sales / penjualan, naik 800%, dari Rp 120 miliar menjadi Rp 1 triliun
Laba Operasional, naik 2000% dari Rp 25 miliar menjadi Rp 500 miliar
dan pencapaian ini, umumnya terjadi pada perusahaan yang tidak membagikan dividen.

Jadi mengapa Tommy menjadi lesu ketika PTBA membagikan dividen besar tadi?
Karena Tommy mengetahui, bahwa dividen sebesar itu adalah bukti bahwa “mesin uang” tidak lagi bisa lagi dikembangkan secara signifikan lagi. Pembagian dividen jumbo tadi adalah bukti pengakuan dari manajemen akan fakta tersebut. Hal yang sama juga terjadi pada Unilever Indonesia (UNVR), yang dividennya dibagikan beberapa kali melebihi net profit tahunan perusahaan.

Nah, oke pak Sampurna, Pembagian dividen menghambat pertumbuhan perusahaan, tetapi apa semua perusahaan yang tidak membagikan dividen adalah kesemuanya bagus?
Tentu dapat ditebak jawabannya, tidak! Malah kalau boleh dibilang, sangat sedikit perusahaan yang tidak membagikan dividen adalah perusahaan yang bagus.

Jadi perlu diingat bahwa, perusahaan bagus tidak membagikan dividen, tetapi perusahaan yang tidak membagikan dividen jarang adalah perusahaan yang bagus. Pastikan logika ini tidak terbalik.

Perusahaan hanya benar – benar bagus, dan layak untuk tidak membagikan dividen jika memenuhi 3 kriteria di bawah ini.
1. Perusahaan punya keunggulan kompetitif dibandingkan dengan perusahaan lain yang sejenis (moat)
2. Punya manajemen yang baik dan berintegritas (kejujuran adalah bagian dari integritas)
3. Punya kemampuan untuk menggunakan uang yang dihasilkan, untuk diputar kembali untuk meningkatkan kinerja perusahaan.

Kriteria yang terakhir, adalah alasan utama mengapa perusahaan yang benar – benar bagus untuk tempat kita berinvestasi, tidak membagikan dividen, seperti Buffett dengan Berkshire Hathaway nya.

Semoga berguna buat ingin tahu lebih dalam tentang investasi di perusahaan yang membagikan dividen.

cheers!
21/6/23
02.20 AM

Investasi Akan Jauh Lebih Sukses Jika 97% Ide Berakhir dengan “No Thanks”

Berkshire Hathaway adalah salah satu perusahaan terbesar di dunia. Perusahaan tersebut memiliki puluhan perusahaan yang dimiliki 100% seperti BNSF, See’s Candies, Dairy Queen dan Duracell. Selain Itu ( Berkshire Hathaway ) BRK juga memiliki sebagian kepemilikan dari beberapa perusahaan besar seperti Apple, Coca Cola, Kraft Heinz dan American Express. Dan orang yang ada di balik keberhasilan perusahaan tersebut bertransformasi dari perusahaan tekstil yang buruk menjadi holding perusahaan asuransi yang sukses adalah Warren Buffett dan Charlie Munger.

Hebatnya BRK, secara size adalah perusahaan yang sangat mini, di mana perusahaan tersebut hanya memiliki 25 karyawan saja. Yang lebih hebat lagi perusahaan tersebut hanya memiliki 2 orang analis saja yaitu 2 nama yang disebutkan di atas. Jika kita menilik kepada cerita – cerita awal ketika Warren Buffett mengendalikan BRK, kita akan dapat melihat salah satu hal yang membuat perusahaan tersebut begitu sukses adalah dikarenakan kelihaian Buffett mendelegasikan perusahaan – perusahaan di bawah BRK kepada manager – manager yang kompeten, jujur, berintegritas dan memiliki passion yang tinggi terhadap pekerjaannya. Mulai dari Ken Chase di Berkshire Hataway ( Buffett tidak langsung mengelola divisi tekstil BRK ), Jack Ringwalt di National Indemnity ( perusahaan asuransi pertama BRK ), Chuck Higgins di See’s Candies ( perusahaan penjual permen yang sangat terkenal di California Amerika Serikat ) dan Ben Rosner di Diversified Retailing.

Buffett terus menambahkan orang – orang terbaik dari tahun ke tahun untuk menjadi manager di perusahaan – perusahaan BRK sampai dengan saat ini, sehingga ia tidak harus berurusan dengan operasional perusahaan ( yang mungkin justru akan lebih baik jika dilakukan oleh para managernya ).

Lalu suatu hari seorang relasi Buffett bertanya kepada Buffett, bagaimana kamu bisa sehebat itu dalam memilih orang, kamu pasti adalah seorang yang sangat berbakat dalam menilai orang. Dan menurut penulis, jawaban Buffett atas pertanyaan tersebut sangat mind opening.
“Look I’m no good at choosing people, I try to be very good at saying NO. If you put me in a room with 100 people and you ask me to judge which one is a good guy and which one is the bad one, maybe I’ll find 4 persons are very good quality people and 4 persons is very bad people, I have no opinion about the other 92“.

Buffett is not trying to be smart, ia tidak berusaha untuk menebak secara keseluruhan dari 100 orang tersebut. Buffett hanya “berani” untuk judge 8 dari 100 orang yang benar – benar ia yakini kualitasnya. Ia selalu berusaha untuk melakukan “action” ketika ia benar – benar memahami suatu hal, termasuk ketika ia membeli saham.

Dari cerita tersebut kita dapat mengetahui bahwa kriteria Buffett dalam membeli perusahaan sangatlah ketat. Dari sekian banyak penawaran yang diberikan kepadanya, hanya sedikit yang benar – benar sesuai dengan kriterianya. Hal tentang analisa manajemen di atas menunjukkan kepada kita seberapa ketatnya penilaian tersebut. Belum lagi analisa yang ia lakukan mengenai prospek perusahaan, keunggulan kompetitif perusahaan, circle of competence di bisnis tersebut, kondisi pasar dan banyak lagi. Sehingga dapat kita katakan kemungkinan besar dari 100 penawaran saham ( baik ditawarkan di pasar modal maupun yang ditawarkan langsung kepadanya ) hanya ada 1 yang benar – benar memenuhi kriteria Buffett sebelum membeli perusahaan tersebut.

Oke, lalu apa hubungannya dengan kita sebagai investor individu dengan cerita di atas?

Setiap investor yang baik, memiliki ” kemampuan mengatakan TIDAK ” yang efektif.

Dalam satu tahun terkadang Buffett hanya membeli 1 saham dan tidak melakukan penjualan apapun. Lalu, pada tahun akhir tahun 1960 an, Buffett bahkan tidak membeli saham apapun dikarenakan ia tidak nyaman dengan kondisi market yang sedang sangat euforia ( yang kemudian terjadi crash pada tahun 1972 – 1974 ).

Berkaca pada pemikiran di atas, maka di tahun awal – awal saya berinvestasi di pasar modal yang seringkali ” mudah ” tertarik dengan suatu saham karena kelebihan kasat mata perusahaan mulai bertanya – tanya, ” Kenapa banyak sekali saham yang terlihat menarik ? It doesn’t feel right “. Mengapa seorang Buffett, investor terbaik abad 21 terlihat sangat sulit menemukan saham yang baik, sedangkan saya yang masih pemula pada saat itu memiliki banyak sekali pilihan saham yang terlihat baik.

Tidak seharusnya saham yang baik semudah ini untuk ditemukan, 90% orang yang ada di pasar modal mengalami kerugian, penulis pada saat itu cukup meyakini bahwa analisa yang telah dilakukan tidak cukup dalam atau efektif dalam menilai suatu perusahaan. Setelah itu penulis memutuskan untuk tetap belajar, tetap membeli saham, tetapi ( ini penting ) dengan uang kecil saja. Tujuan utama adalah untuk mengenal dan belajar dinamika berinvestasi langsung di pasar modal ( 3 – 4 tahun sebelum membeli saham pertama, hanya berinvestasi di reksa dana ).

Dan ternyata keputusan tersebut ( untuk tidak terburu – buru menempatkan dana besar di saham ) cukup memuaskan penulis. Banyak sekali kesalahan mendasar di tahun – tahun awal seperti membeli perusahaan dengan manajemen yang kurang baik, membeli perusahaan yang terlihat murah tetapi memiliki banyak masalah, atau merasa mengenal bisnis di suatu sektor yang ternyata jauh lebih kompleks daripada yang dibayangkan sebelumnya

“Be very good at saying NO”

Kata – kata tersebut sekarang selalu penulis gunakan dalam melakukan keputusan investasi saham ( dan bahkan keputusan lain dalam kehidupan sehari – hari, terutama untuk saying NO kepada sesuatu tidak berkorelasi langsung dengan long term goals kita ). Dengan memiliki pola pikir tersebut sedikitnya kita memiliki 3 keuntungan dalam berinvestasi saham :

1. Kita dapat berfokus untuk mempelajari sektor yang kita ingin pahami, yang pada akhirnya mempermudah keputusan investasi ( belajar saham = belajar bisnis, keinginan untuk bisa memahami semua bisnis di Indonesia kurang rasional, kalau tidak boleh dibilang tidak mungkin ).

2. Kita memiliki alat screening terbaik dalam memilih saham, yaitu memilih saham hanya di sektor yang kita pahami. Kita tidak perlu repot lagi untuk ragu – ragu, apakah kita harus membeli saham ANTM atau INCO dengan nikelnya, jika kita memang tidak memahami risiko bisnis di sektor tersebut. Secara otomatis kita dapat melakukan discard kepada 80% emiten yang ada di bursa efek.

3. Kita terhindar dari musuh terbesar, yaitu diri kita sendiri. Dengan secara cepat memutuskan untuk tidak membeli saham yang kita tidak benar – benar pahami, membuat kita aman dari bias psikologi yang membuat kita keluar dari rencana investasi kita. Jika kita memang sejak awal hanya bersedia berinvestasi di sektor banking atau consumer, maka kita tidak akan mudah tergoda untuk membeli saham yang sedang panas di awal tahun 2021 semisal di sektor farmasi dan konstruksi, di mana banyak sekali orang terutama investor saham pemula yang kehilangan banyak uang karena ” tidak ” tahu apa yang sebenarnya mereka beli.

Berkebalikan dari saying NO adalah saying YES easily,

“Saham KAEF menarik mas lagi bullish, ndang tuku!
Hajar Kanan !!!!!”

# 21 Januari 2021
# 6.975 / lembar saham
# Market Cap 37 Triliun
# Nilai Buku 7 Triliun
# P/E Ratio 700+ ( butuh 700 tahun untuk balik modal )i’d rather saying NO

80% keberhasilan investasi saham ditentukan saat kita menemukan hal ini

Sebagai salah seorang yang sangat suka untuk mempelajari hal baru ( beberapa hal, tidak hanya investasi ), penulis menyadari dengan jelas bahwa ada 2 hal yang mempengaruhi secara signifikan keberhasilan kita dalam menguasai sesuatu adalah ada / tidak nya role model ( panutan ) dan apakah role model yang kita pelajari capable dan sejalan dengan tujuan pembelajaran kita.

Contohnya, penulis memiliki hobi olahraga tenis, dan karena pelatih tenis ( role model ) itu feenya tidak murah dan penulis memang benar – benar mulai dari 0 ketika mulai belajar bermain tenis, maka penulis dengan 2 orang temannya memilih untuk berlatih sendiri. Kita sewa lapangan sendiri, membeli 6 bola baru dan raket tenis baru ( tanpa mengetahui raket ternyata ada jenisnya ) dan mulailah kita bermain.

Hal yang tidak terpikir adalah, berbeda dengan olahraga bulu tangkis di mana seburuk – buruknya kita sebagai pemula kita pasti bisa memainkan olahraga bulu tangkis, pada olahraga tenis sekali kita salah memukul bola maka bola tersebut akan terlempar jauh dan untuk hanya mengambil kembali bolanya saja membutuhkan waktu yang banyak ( malah gak jadi latihan tenis )

Belum lagi ternyata permainan tenis ternyata sama sekali tidak mirip dengan bulu tangkis ( asumsi awal penulis karena sama – sama menggunakan raket, not so smart assumption ), tenis ternyata lebih mirip golf atau baseball yang menggunakan _swing_ lebih daripada _slap_ ( memukul shuttlecock bulu tangkis tidak membutuhkan awalan posisi raket ). Intinya adalah karena kita tidak memiliki role model sebagai contoh, maka pembelajaran yang kita lakukan sangat tidak efektif, dan juga menghabiskan waktu, tenaga dan biaya

Lalu pertanyaan kedua yang harus dijawab mengenai role model adalah apakah role model tersebut punya kemampuan yang kita butuhkan dan apakah kemampuan tersebut sesuai dengan apa yang ingin kita pelajari. Contohnya, penulis tidak akan mendapatkan hasil yang memuaskan jika menggunakan jasa pelatih terbaik tetapi di olahraga bulu tangis, padahal skill yang ingin dikuasai adalah tenis. Oleh karena itu, kecocokan antara kapabilitas role model dengan kebutuhan kita adalah krusial.

Oke lalu apa hubungannya dengan berinvestasi ?

Keberadaan role model ( tidak harus mentor riil, Benjamin Franklin pun bisa kita jadikan role model  ) adalah krusial pada saat kita ingin mempelajari apapun, termasuk dalam investasi saham. Kecuali kita adalah orang yang berbakat sejak lahir, adanya role model akan sangat membantu kita dalam mempelajari bagamana proses untuk menghasilkan suatu keputusan yang baik.

Kemudian, role model yang kita amati harus memiliki prinsip yang senilai dengan kita. Contohnya, tujuan utama penulis mempelajari investasi adalah untuk melawan inflasi dan mencapai kebebasan finansial dalam jangka panjang. Oleh karena itu, semua role model yang memiliki idea untuk quick profit dari investasi jangka pendek namun dengan risiko yang tidak dikontrol akan tidak cocok dengan value yang penulis cari

dan yang terakhir dan sangat penting adalah kita mengerti bagaimana melakukan cara untuk mengenali keberhasilan investasi yang dimiliki seseorang, sehingga kita bisa membedakan manakah yang merupakan real “role model” dan yang mana “fake guru” ( yang pasti di sini adalah penulis tidak memposisikan diri sebagai role model, penulis di sini adalah sama dengan posisi para pembaca yaitu sebagai pembelajar yang ingin terus menjadi pengusaha dan investor yang lebih baik ). Hasil amatan penulis dalam menemukan real investor role model adalah sebagai berikut :

  1. Role model yang ideal tidak memamerkan keberhasilan 1 atau 2 kali saja, karena informasi sebagian tidak memberitahukan kepada kita apakah hasil dari keputusan tersebut berasal dari proses yang baik atau hanya merupakan kebetulan. Apalagi orang tersebut “berusaha” untuk mempengaruhi kita untuk hanya melihat keberhasilannya saja. Role model yang baik memberikan informasi kepada kita secara keseluruhan, bukan hanya memberikan stockpick saja. Bahkan, menurut penulis investor – investor terbaik di dunia tidak pernah memberikan rekomendasi saham.

    Jika kita pikirkan baik – baik, mengapa seorang Warren Buffett dan investor – investor terbaik di dunia tidak pernah memamerkan ( bragging ) keberhasilan mereka? Sebaliknya mengapa banyak fake guru yang kerap kali mempertontonkan prestasi mereka sendiri? Hal tersebut dikarenakan seorang Buffett cukup jarang melakukan kesalahan dibandingkan dengan keberhasilan yang dicapainya, sehingga jika ia melakukan kesalahan maka orang tersebut akan lebih mudah mengingatnya.

    Sebaliknya ketika orang lebih sering mengalami kegagalan dibandingkan dengan keberhasilan, maka tentu ia dengan mudah untuk ingat dengan keberhasilan dibanding dengan kegagalannya.
  2. Role model yang baik tidak memberikan target kepada performansi investasi diri mereka sendiri atau institusi yang mereka kelola. Mereka tidak terlalu memberikan perhatian kepada performansi bulanan atau bahkan tahunan. Hal ini disebabkan, jika seorang fund manager terlalu memperhatikan keberhasilan jangka “pendek”, tentu mereka akan sulit untuk memanfaatkan peluang jangka panjang yang tersedia. Mereka tidak terlalu mempedulikan relative return tahunan ( IHSG, LQ45, S&P500, IDX30 atau indeks lain ).
  3. Fokus utama role model yang baik adalah kepada absolute return, di mana satu – satunya yang diperhatikan oleh orang tersebut adalah capaian performansi rata – rata tahunan mereka dalam jangka panjang. Role model tersebut tidak akan mempermasalahkan apabila pencapaian mereka tertinggal dibandingkan dengan rata – rata tahunan investor atau fund manager lain dan tentu saja, mereka juga tidak mempermasalahkan apabila banyak sekali orang atau pihak yang mempertanyakan keputusan mereka.

    Seperti pada tahun 2020 ini banyak orang yang mengatakan bahwa Buffett sudah kehilangan kemampuan investasinya karena tidak mau berinvestasi di sektor yang sedang naik daun. Tetapi jika melihat lebih panjang ke belakang, anggapan seperti ini sudah terjadi berulang kali, pada tahun 2008, 2000, 1987 dan pada tahun 1972.

Ketiga hal di atas inilah yang menurut penulis membedakan mana role model yang baik untuk kita pelajari dan sebaliknya. Role model yang baik ingin kita agar bertumbuh menjadi investor yang lebih baik, sedangkan fake guru selalu menginginkan kita untuk envy, ingin kita supaya mengikuti mereka, melebihi keinginan mereka untuk membuat kita menjadi lebih baik.

Mengapa penulis menulis artikel ini? yahh, mungkin karena sudah mulai jenuh dengan semakin banyaknya orang yang terjerumus dan kehilangan banyak uang, dikarenakan banyaknya aksi dari para pemain pencak silat di dunia investasi, yang di mana mereka sendiri mungkin tidak berinvestasi dengan cara yang mereka pakai

Pernah dengar influencer saham yang 90% investasinya di property bukannya di saham?

Ya, ada!

Sampurna Tanzil
28 Feb 2021
1.49 pm