Redwoodinvesting

Perusahaan yang Bagus, Tidak Membagikan Dividen

Hari dan Tommy, ada pemegang saham PTBA sejak beberapa tahun yang lalu. Dan baru – baru ini, PTBA membagikan seluruh keuntungannya pada tahun 2022 untuk menjadi dividen yang per lembarnya bernilai Rp 1.000. Padahal, harga sahamnya pada saat itu adalah sekitar Rp 3.000, sehingga Hari dan Tommy berhak untuk mendapatkan hasil investasi berupa dividen setara 33% yield! dan angka ini besar sekali, mengingat deposito / obligasi negara hanya memberikan yield sekitar 6% per tahunnya.

Hari bersuka cita, tetapi Tommy malah merasa lesu. Hari senang karena menapatkan dividen besar dari PTBA, Tommy kurang senang mendapatkan dividen besar, kok bisa? Kan memegang saham yang sama, mendapatkan hasil yang sama. Tetapi mengapa yang satu senang dan yang satu malah merasa kebalikannya?

Mari kita bahas fenomenanya …..

Sebelum melanjutkan lagi ke cerita Hari dan Tommy, kita bahas terlebih dahulu salah satu statement yang sering diucapkan oleh Warren Buffett tentang seberapa lama ia ingin memegang sebuah saham.

“My favorite holding period is forever”

“Saya (Buffett) paling senang memegang saham selamanya”. Bagi kebanyakan orang yang menjadi peserta market, terutama yang tidak terlalu mengenal strategi Buffett, holding forever sering disebut tidak bagus. Mengapa?

Secara data statistik, cukup jarang perusahaan yang mampu bertumbuh di atas rata – rata pertumbuhan market, dengan selisih signifikan dari IHSG (katakan signifikan kalau angka pertumbuhannya sekitar 15% per tahun atau lebih), apalagi dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama. Sedangkan, kalau kita trading dan profit per bulan 5% saja, sudah mengantarkan kita untuk bertumbuh 60% per tahunnya! Kok Buffett nggak mau sih profit besar per tahunnya, malah terus menggunakan value investing yang cuma 15% per tahunnya?

Sebenarnya, yang banyak peserta market tidak ketahui, bukannya Buffett nggak mau profit besar, tapi yang menjadi target besarnya adalah, mendapatkan profit besar tanpa harus mengganti – ganti saham (memiliki perusahaan). Dengan hanya memiliki perusahaan yang benar – benar bagus, Buffett mampu untuk profit besar setiap tahunnya dari berinvestasi, tanpa harus terus – menuerus melakukan rotasi saham. Selama karirnya berinvestasi di Berkshire Hathaway, ia pernah melakukan pembelian sekitar 300 saham (perusahaan). Angka yang cukup banyak, kecuali kita mengetahui bahwa hal itu dilakukan dalam rentang waktu hampir 60 tahun lamanya. Yang artinya secara rata – rata, ia hanya membeli 5 saham per tahunnya.

Tetapi sekalinya investasinya berhasil, perusahaan yang ia beli menghasilkan return.
Contoh :
1. Washington Post, beli $10 juta, jual lebih dari $800 juta, dalam kurun waktu 40 tahun.
2. Apple, beli $36 miliar, sekarang (masih dipegang) dengan value $160 miliar, dalam 7 tahun.
3. Geico, beli $45 juta, bernilai $2.300 juta sekitar 20 tahun kemudian.
4. Kalau di Indonesia ada pak LKH dengan saham MBAI nya ketika dibeli oleh JPFA, yang profit 12.500% nya di saham tersebut.

dan banyak contoh profit jumbo lain seperti Coca – Cola, Gilette / P&G, American Express, atau BBCA dan UNVR yang sudah berlipat ratusan kali dari harga awal nya pada saat melantai di bursa saham.

Nah sekarang, kita juga ingin dong punya perusahaan (saham) yang kemudian bisa profit jumbo seperti contoh di atas. Apakah sebenarnya ada, aspek yang paling dapat memprediksi kenaikan harga saham / perusahaan, yang dapat kita amati sebagi investor?

Ya ada, semua perusahaan tersebut, ternyata punya pertumbuhan sales dan laba bersih yang besar, dari tahun ke tahun. Dengan kata lain perusahaan – perusahaan di atas ini, bertumbuh secara signifikan dan dalam jangka waktu yang lama. Bahasa kerennya, growth company.

Nah, karena dinamakan dengan growth company, mereka membutuhkan, “mesin uang” yang semakin besar dari tahun ke tahun, untuk mencetak sales dan laba yang terus bertumbuh. Dan karena perusahaan – perusahaan ini membutuhkan dana untuk membesarkan “mesin uang” mereka, ada 2 kesamaan yang sering terjadi yaitu, utang berbunga mereka besar, dan mereka jarang (atau malah tidak) membagikan dividen!

Wow, kok bisa tidak membagikan dividen malah bisa dikatakan bagus?
Bukankah itu bukti kalau manajemennya tidak bagus karena tidak memperhatikan pemegang saham kecil seperti kita?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, saya berikan 1 analogi yang cukup pas untuk dijadikan ilustrasi dividen di atas.

Katakanlah ada seorang anak SMA berusia 15 tahun, dan orang tuanya memiliki usaha yang sedang bertumbuh. Memang orang tuanya pernah mengatakan, jika nanti di kemudian hari semua uang dan aset yang dimiliki orang tua akan diwariskan ke dia dan saudara – saudaranya. Kamu mau uangnya kapan nak? sekarang ya nggak apa2 kalau kamu mau.

Nah, kemungkinan, akan ada beberapa anak yang akan meminta uang warisannya langsung di saat itu juga. Tetapi apakah itu yang paling baik? Apakah jika uangnya tetap dikelola oleh orang tua yang semakin hari akan semain besar nilai bisnisnya, sehingga di masa depan akan memberikan jumlah nominal uang yang lebih besar kepada sang anak? Sedangkan anak tidak memiliki kemampuan untuk mengembangkan bisnis seperti yang dilakukan oleh orang tuanya karena ia masih sedang bersekolah.

Jika tujuannya adalah mendapatkan hasil yang optimal, mana yang kira – kira lebih baik?
Uangnya diberikan kepada anak? atau tetap dikelola oleh orang tuanya?
Tentu dikelola oleh orang tua yang sudah menjalankan bisnis sebelumnya akan lebih memberikan peluang lebih baik agar mesin uang nya semakin hari semakin lebih besar.

Balik lagi ke masalah dividen tadi. Jika kita sudah memiliki orang tua (manajemen) yang mampu dan dapat dipercaya, dan bisnisnya sudah berjalan, tentu adalah hal yang kurang bijaksana, jika kita berusaha menghalangi pertumbuhan “mesin uang” tersebut dengan mengeluarkan sumber daya dari perusahaan, yaitu dengan membagikannya dalam bentuk dividen. Dalam hal ini, pemberian dividen justru akan menghambat pertumbuhan perusahaan.

Seperti perusahaan Berkshire Hathaway nya Warren Buffett, sejak tahun 1965 perusahaan tersebut dikendalikan oleh Buffett, hanya pernah sekali perusahaan tersebut membagikan dividen di sekitar tahun 1970 an.

Hasilnya?
Pertumbuhan jutaan persen di mana harga sahamnya (BRK.A) tumbuh dari $8 menjadi $500.000, atau pertumbuhan 5.000.000%, yang disebabkan salah satunya oleh karena BRK tidak pernah membagikan dividen.

Untuk di Indonesia, ada contoh yang sama, misalnya perusahaan DCI Indonesia (DCII). Perusahaan IT ini sejak 2017 sampai dengan hari ini di Juni 2023, telah mengalami pertumbuhan sebagai berikut :
Sales / penjualan, naik 800%, dari Rp 120 miliar menjadi Rp 1 triliun
Laba Operasional, naik 2000% dari Rp 25 miliar menjadi Rp 500 miliar
dan pencapaian ini, umumnya terjadi pada perusahaan yang tidak membagikan dividen.

Jadi mengapa Tommy menjadi lesu ketika PTBA membagikan dividen besar tadi?
Karena Tommy mengetahui, bahwa dividen sebesar itu adalah bukti bahwa “mesin uang” tidak lagi bisa lagi dikembangkan secara signifikan lagi. Pembagian dividen jumbo tadi adalah bukti pengakuan dari manajemen akan fakta tersebut. Hal yang sama juga terjadi pada Unilever Indonesia (UNVR), yang dividennya dibagikan beberapa kali melebihi net profit tahunan perusahaan.

Nah, oke pak Sampurna, Pembagian dividen menghambat pertumbuhan perusahaan, tetapi apa semua perusahaan yang tidak membagikan dividen adalah kesemuanya bagus?
Tentu dapat ditebak jawabannya, tidak! Malah kalau boleh dibilang, sangat sedikit perusahaan yang tidak membagikan dividen adalah perusahaan yang bagus.

Jadi perlu diingat bahwa, perusahaan bagus tidak membagikan dividen, tetapi perusahaan yang tidak membagikan dividen jarang adalah perusahaan yang bagus. Pastikan logika ini tidak terbalik.

Perusahaan hanya benar – benar bagus, dan layak untuk tidak membagikan dividen jika memenuhi 3 kriteria di bawah ini.
1. Perusahaan punya keunggulan kompetitif dibandingkan dengan perusahaan lain yang sejenis (moat)
2. Punya manajemen yang baik dan berintegritas (kejujuran adalah bagian dari integritas)
3. Punya kemampuan untuk menggunakan uang yang dihasilkan, untuk diputar kembali untuk meningkatkan kinerja perusahaan.

Kriteria yang terakhir, adalah alasan utama mengapa perusahaan yang benar – benar bagus untuk tempat kita berinvestasi, tidak membagikan dividen, seperti Buffett dengan Berkshire Hathaway nya.

Semoga berguna buat ingin tahu lebih dalam tentang investasi di perusahaan yang membagikan dividen.

cheers!
21/6/23
02.20 AM

Memegang Saham vs Memiliki Perusahaan

“Gan, lu masih pegang saham ABCD nggak? udah lumayan kan cuan lu”
“Iya nih gua udah kepikiran untuk nge-lepas, masih wait and see dulu deh, takutnya abis jual malah terbang, kan ampas kalo gitu”


Sebagai orang yang suka dengan dunia psikologi, saya belajar bahwa, mindset tertentu akan menghasilkan pilihan kata – kata tertentu. Misalnya, orang yang pesimis akan berkata “bisa tapi sulit” dan orang yang optimis akan berkata “sulit tapi bisa”, Individu yang bersyukur akan memilih kata – kata “Aku bersyukur karena bisa berlibur ke Bali” dan orang yang penuh penyesalan akan memilih kalimat “Kenapa aku hanya bisa berlibur ke Bali (padahal Hans si sok ganteng itu liburannya ke Eropah)”. I can go on and on but you got my point.

Termasuk 2 kalimat percakapan di awal artikel ini, adalah bentuk manifestasi dari mindset kedua orang tersebut dalam mengelola investasi mereka. Kata – kata yang dipilih adalah “pegang” dan “lepas”, sehubungan dengan saham ABCD. Wah emangnya salah pak Sampurna? ya enggak salah, tetapi ada yang harus digaris bawahi. 2 kata tersebut, tidak cocok digunakan untuk investor yang menggunakan strategi investasi saham jangka panjang (terutama jika strategi yang kamu gunakan adalah strategi Warren Buffett setelah tahun 1972). Mengapa?

Memegang Saham VS Memiliki Perusahaan

Setelah cukup sekian lama meresapi intisari long term investing (halah….), saya melihat banyak sekali contoh, di mana, hampir tidak mungkin seseorang dapat memegang saham dalam jangka waktu yang lama jika sejak awal sebelum membeli saham tersebut, sudah berpikir untuk menjual sahamnya (nanti kalau cuan). Pemilihan kata “pegang” saham, adalah bukti bahwa sejak awal, pembeli saham tersebut, tidak memiliki keinginan untuk memiliki perusahaan tersebut, dan yang sebenarnya diinginkan adalah keuntungan dengan memegang “sementara” saham perusahaan tersebut. Dan sampai di sini sebenarnya tidak ada yang salah.

Tetapi, menggunakan pola investasi Warren Buffett yang sebenarnya mengincar return tinggi dengan memiliki perusahaan dalam jangka panjang, akan sangat susah sekali untuk dilakukan. Lah, untung 10% aja sudah keburu – buru jual, takut nanti harga sahamnya turun lagi, boro – boro mau hold jangka panjang. Strategi investasi jangka panjang yang dipraktekkan oleh Buffett maupun Munger, mengharuskan investor untuk benar – benar berniat memiliki bagian dari perusahaan tersebut, tanpa mempedulikan harga saham, selama perusahaannya benar – benar adalah perusahaan yang baik. Rewardnya, return ribuan persen.

Ingin benar – benar memiliki perusahaannya, tidak dengan berencana sejak awal ingin menjual sahamnya nanti kalau sudah untung. Lah, kan aneh pak Sampurna, wong orang beli saham kan inginnya cuan, kok disuruh pegang selamanya. Nah, jangan salah, sampai dengan hari ini sejak saya membeli saham pertama saya, saya telah membeli kurang lebih 50 nama saham. Dari semua saham itu, hanya 1 saham yang benar – benar di hold lama sampai dengan saat ini. Wah, piye pak Sampurna, jare sampeyan jangan ingin untuk jual saham.

Jika ingin mempraktekkan strategi investasi jangka panjang, tidak ada masalah sebenarnya dengan menjual saham, yang bermasalah adalah, sejak awal sebelum beli, sudah berpikir untuk menjual sahamnya, jadilah konsep “pegang” dan “lepas” akan muncul di kepala kita, yang pada akhirnya membuat kita sering diperintah oleh harga saham, yang sebenarnya harus kita manfaatkan. Jika masih bingung begini analoginya.

Sebelum menikah di tahun 2018, saya membeli rumah untuk tempat tinggal keluarga saya nanti. Dan karena saya value investor, tentu saya mau nya beli rumah yang di bawah harga pasar. Katakanlah, saya membeli rumah dengan harga pasar Rp 3,5 Miliar dengan membayar 3 Miliar.
Rumah ini saya beli karena :
1. Saya butuh rumah
2. Lokasinya dekat tempat kerja dan dekat commercial district (jadi gampang kalau butuh sesuatu)
3. Lingkungannya cukup nyaman dan tenang (enak buat baca, enak banget) dan,
4. Lokasi kompleks rumah sedang dalam fase berkembang

Poin utamanya adalah, saya benar – benar ingin punya rumah ini, tidak ada intensi untuk menjual kembali rumah ini. Rumah ini (sejauh ini) ingin saya hold forever. Home sweet home!

Tetapi, semua niat saya untuk hold forever rumah ini pasti akan saya batalkan, jika, ada orang yang mau membeli rumah ini di harga Rp 15 Miliar (cuma misal saja). Saya dan keluarga saya, dengan “terpaksa” harus menjual rumah tersebut jika ditawar angka double digit miliar barusan. Bisa ditangkap konsepnya?

Oke, kita coba contoh dengan real case pada investasi saham yang pernah saya eksekusi sebelumnya

Harum Energy ( HRUM )

Pada tahun 2019 saya berinvestasi pada perusahaan ini, dengan kondisi sebeagai berikut :
1. Harga saham Rp 260 (atau Rp 1.300 sebelum stocksplit 1 : 5)
2. Market Cap (penjelasan market cap pernah di bahas di artikel ini) pada saat itu sekitar Rp 3,7 Triliun
3. Cash perusahaan pada saat itu sekitar Rp 3,2 Triliun
4. Utang berbunga perusahaan mendekati Rp 0 (tanpa utang bank / obligasi)
5. Rata – rata laba bersih perusahaan dalam 5 – 10 tahun sebelumnya sekitar Rp 400 – Rp 500 Miliar / tahun
6. Rata – rata arus kas operasi perusahaan dalam 5 – 10 tahun sebelumnya sekitar Rp 600 Miliar / tahun
7. Harga batubara ICI 1 (kualitas paling bagus) sekitar USD $60 – $70

Saham ini saya beli karena :
1. Membeli perusahaan harga (market cap) Rp 3,7 Triliun, dapat cash Rp 3,2 T, tidak diwarisi utang bank yang berbunga, yang artinya nilai perusahaan hanya dianggap sekitar Rp 500 Miliar (EV), sedangkan laba bersih logis pada kondisi rata – rata adalah juga Rp 500 M per tahunnya. Hal ini berarti EV/NPM (anggap saja seperti P/E Rasio) di angka 1. Ini murah sekali.
2. Perusahaan masih dikontrol oleh pendiri, yang setelah saya cek track recordnya lebih dari 10 tahun mundur ke belakang, tidak ditemukan adanya pengelolaan perusahaan yang aneh – aneh, dan umumnya manajemen “under promise over deliver“, sehingga saya asumsikan manajemen punya integritas. Mereka juga good capital allocator karena beberapa alasan.
3. Harga batubara sedang rendah. Rekor terendah setelah tahun 2008 adalah USD $50.
dan ada beberapa alasan lain yang terlalu panjang untuk dituliskan di pembahasan artikel ini, meskipun tetap sebenarnya tetap ada kekurangan di semua perusahaan. Tetapi kelebihannya jauh lebih signifikan.

Intinya adalah, saya berkesimpulan, ini perusahaan bagus dan sangat murah, saya benar – benar ingin memiliki perusahaan ini, tidak peduli harga sahamnya, tidak peduli apakah nanti akan dijual lagi nantinya. Saya tidak memegang saham HRUM, saya adalah pemilik perusahaan HRUM (meskipun minoritas, pake banget). Mindset itu yang sebaiknya kita aplikasikan.

Awal 2021, update kondisi adalah sebagai berikut :
1. Harga saham sekitar Rp 1.400, dengan market cap menjadi sekitar Rp 20 Triliun
2. Net profit di tahun 2021 “hanya” Rp 1 Triliun
3. Cash Rp 3,6 Triliun, meskipun tetap tanpa utang berbunga.

Nah, sekarang saya sudah merasa “perusahaan” dihargai terlalu mahal oleh pasar. Rp 20 Triliun untuk perusahaan yang memberikan return Rp 1 Triliun (P/E 20) dan berkarakter cyclical, adalah beresiko tinggi. Valuasi tersebut, saya interpretasikan sebagai “paksaan” market untuk membeli perusahaan yang kita miliki. Akhirnya saya “terpaksa” untuk menjual perusahaan favorit saya, di harga sekitar Rp 1250. Profit 4 baggers pertama saya pada waktu itu.

Senang dong? iya tentu saja, sebelum harga sahamnya naik sampai Rp 2.800! Yang kemudian sekaligus membuat saya melewatkan 10 baggers pertama saya, dan kita bisa bahas ini di kesempatan lain, tentang dealing with regret.

Conclusion

Jika ingin memulai karir sebagai investor, hal yang paling penting adalah mindset, setting awal cara berpikir, strategi dasar yang dianut oleh setiap investor. Konsistensi dalam sistematika pengambilan keputusan akan membantu mengeleminasi kebingungan yang ada saat kamu “megang” sahamnya. Terutama, jika kita berinteraksi dengan aset investasi yang umum ya beresiko tinggi bagi orang kebanyakan, kayak saham. Dan jika sudah memutuskan menggunakan strategi long term, pastikan setting awal pemikiran investasi long term juga, jangan mindset trading cepat dibawa, yang biasanya memang terbawa secara tidak sadar.

Hanya dengan melakukan setting yang tepat pada pemikiran investasi kita, kita akan lebih baik dalam proses membeli saham, lebih baik dalam melakukan hold perusahaan, yang pada akhirnya dalam jangka panjang membuat kita memiliki average return tahunan yang lebih baik.

Semoga memberikan ide tambahan, yang bermanfaat
Cheers!

07/02/23
03.03 pm